Pernah tidak, kamu membaca, atau sekadar mendengar, bahwa Islam disebarkan di Nusantara oleh para pedagang muslim? Pendapat bahwa pedagang muslim sebagai kelompok utama penyebaran Islam di Nusantara telah menjadi pandangan dominan, menghiasi buku-buku sejarah Islam di Indonesia.
Namun, pandangan tersebut masih disangsikan. Beberapa pihak di Indonesia meyakini bahwa Islam disebarkan langsung oleh para ulama.
Jika kita mencermati tulisan para sejarawan Islam, baik dari Indonesia maupun luar, kita dapat melihat setidaknya ada dua pendapat terkait siapa yang menyebarkan Islam di Nusantara. Pandangan pertama adalah mereka yang memandang penyebaran Islam dilakukan oleh pedagang Muslim, dan pandangan kedua yang melihat bahwa Islam disebarkan oleh para ulama.
Pendapat mengenai Pedagang sebagai Kelompok Utama Penyebaran Islam
Sebagian besar tulisan sejarah Islam di Nusantara menjelaskan bahwa para pedagang Muslim menjadi kelompok dominan dalam penyebaran Islam di negeri ini. Ini dapat kita temukan, sebagai contoh dalam buku Islam Nusantara tulisan M. Abdul Karim. Dalam buku tersebut, Abdul Karim mengatakan bahwa sejak abad ke-13 M, penyebaran Islam di Nusantara dilakukan oleh para pedagang muslim. Mereka berlayar menuju Indonesia memanfaatkan jalur pelayaran melalui pantai Malabar, Karamandel, Teluk Bangla, maupun Gujarat.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Rizem Aizid dalam buku Sejarah Islam Nusantara. Rizem meyakini bahwa selain berdagang, para pedagang muslim masa itu juga menyebarkan Islam kepada masyarakat Nusantara. Mengutip Robert Day McAmis dalam buku Malay Muslims, cara penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang muslim adalah melalui pernikahan dengan penduduk lokal. Dengan menikahi para penduduk setempat dan menetap, mendorong munculnya populasi beragama Islam di tempat yang mereka singgahi.
Kita dapat menemukan beberapa narasi sejarah yang menjelaskan pernikahan antara pedagang Muslim dengan perempuan setempat. Sebagai contoh, pada masa penyebaran Islam di Bolaang Mongondow pada abad ke-18 M, Andi Latai, seorang pedagang muslim asal Bugis, menikah dengan Bua’ Hontinimbang, putri Raja Eugenius Manoppo.
Contoh lain, kali ini di Jawa pada abad ke-14 M, sebagaimana ditulis Nengah Bawa Atmadja dalam buku Geneologi Keruntuhan Majapahit, telah ada kelompok muslim yang menempati kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Jadi, sebelum era Wali Songo, orang-orang Islam sudah ada di Jawa.
Dalam pandangan ini, mereka adalah para pedagang muslim. Penduduk lokal saat itu sudah menjalin hubungan kekerabatan dengan mereka, melalui jalan pernikahan.
Meski terlihat meyakinkan, pendapat bahwa pedagang muslim sebagai kelompok dominan dalam penyebaran Islam di Nusantara bukan tanpa kritik. Sebagian sejarawan lain menyangsikan pendapat tersebut. Seperti yang diungkapkan van Leur dan Schrieke, dikutip melalui Nur Syam dalam buku Islam Pesisir, tidak mungkin islamisasi secara besar-besaran di Nusantara dilakukan oleh pedagang hanya melalui jalur perkawinan. Kritik lain juga diajukan oleh Ariel C. Lopez. Dalam disertasi Conversion and Colonialism: Islam and Christianity in North Sulawesi, c. 1700-1900, Lopezmempertanyakan apakah bisa para pedagang melakukan konversi secara massal di Bolaang Mongondow, dan juga di Nusantara secara umum?
Dua kritik tersebut penting adanya, mengingat bahwa tidak semua daerah di Nusantara pada masa tersebut menjadi pusat perdagangan, tempat yang mempertemukan para pedagang muslim dengan masyarakat Nusantara. Sulit untuk membayangkan bahwa penyebaran Islam berkembang melalui aktivitas perdagangan, karena tidak adanya interaksi yang intens antara para pedagang muslim dengan masyarakat pribumi dalam skala besar. Selain itu, kehadiran para pedagang Muslim, pada dasarnya, justru membawa motif ekonomi untuk berdagang, dan bukan membawa tujuan utama untuk berdakwah.
Pandangan mengenai Ulama dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Di sisi lain, mereka yang menyangsikan peran pedagang muslim dalam proses penyebaran Islam di Nusantara lebih meyakini jika hal tersebut dilakukan oleh para ulama. Seperti yang diutarakan Lopez mengenai Bolaang Mongondow, ia juga menyoroti peran pemimpin lokal yang telah memeluk Islam dalam upaya mendorong islamisasi di daerah tersebut.
Secara umum, para ulama yang berlayar ke Nusantara pada masa silam adalah mereka yang memiliki pengamalan Islam sufisme, yang juga dikenal sebagai ulama tasawuf. Dalam kasus ini, para penyebar Islam pada masa awal islamisasi adalah para sufi. Seperti yang diungkapkan S.Q. Fatimi, yang dikutip melalui Nur Syam, bahwa penyebaran Islam di Nusantara oleh para pendakwah sufi sejalan dengan temuan naskah-naskah lama di Jawa, yang menceritakan penyebaran Islam dilakukan melalui kegiatan sufistik.
McAmis nampaknya tidak begitu menyangsikan peran pedagang Muslim. Namun, ia juga tidak mengabaikan kehadiran para ulama dalam masifnya islamisasi di Nusantara. Sebagaimana tertuang dalam bukunya, McAmis mengatakan bahwa penyebaran Islam oleh para pedagang belum mapan, hingga “ketika para sufi muncul dan memperkenalkan Islam dengan cara yang dapat diterima”.
Sebagai contoh, di Pulau Jawa, meski ada pendapat bahwa telah ada kelompok muslim pada era Majapahit masa kepemimpinan Hayam Wuruk, Islam masih menjadi agama para pedagang. Kalaupun ada penduduk lokal yang beragama Islam, mereka adalah orang-orang yang telah menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan. Perkembangan Islam masih belum masif, hanya berkembang dalam lingkaran koloni Muslim.
Gencarnya penyebaran Islam di Jawa dimulai dari kemunculan jejaring ulama Wali Songo, ketika Sunan Ampel, bersama saudaranya Ali Murtadho, mulai membangun pondasi dakwah Islam pada abad ke-15. Dari sini, mulai terbentuk jaringan ulama Wali Songo yang benar-benar menyebarkan Islam di tanah Jawa. Melalui jejaring Sunan Giri, yang merupakan bagian jejaring Wali Songo, Islam menyebar hingga ke wilayah timur Nusantara.
Di Bolaang Mongondow, kasus yang terjadi lebih kurang sama. Meski telah ada kontak Islam melalui pedagang muslim pada abad ke-18, penyebaran Islam di Bolaang Mongondow stagnan. Mulai pada abad ke-19, ditandai dengan kedatangan para ulama, seperti jejaring Imam Tueko dan Syekh Abdul Latief Rizik al-Makki al-Syafii, barulah penyebaran Islam di wilayah tersebut menjadi masif.
Antara Motif Dagang dan Dakwah
Perbedaan motif dalam pengembaraan, selain metode dakwah yang lebih dapat diterima, menjadi sebab masifnya penyebaran Islam melalui para ulama. Berbeda dengan para pedagang muslim, yang pada dasarnya bertujuan untuk berdagang, para ulama memiliki misi untuk benar-benar berdakwah di Nusantara. Dakwah tidak hanya menjadi aktivitas sampingan bagi mereka, melainkan menjadi tujuan utama pengembaraan mereka.
Para ulama penyebar Islam di Nusantara, sebagaimana diungkapkan McAmis, “bukan seorang ahli yang dibayar.” Gerakan mereka dalam menyebarkan Islam bisa dikatakan sebagai sesuatu yang spontan. Meski dalam gerakan dakwah mereka terbentuk sebuah jejaring ulama, seperti jaringan Wali Songo dan Imam Tueko, hal tersebut berangkat dari kesadaran dakwah bersama dan ikatan keilmuan yang terbentuk.
Meski begitu, kita tidak dapat menyangsikan peran pedagang muslim dalam membawa Islam di Nusantara. Mereka juga memiliki peran penting dalam proses islamisasi di tanah ini. Namun, mengatakan bahwa para pedagang sebagai kelompok dominan dalam penyebaran Islam di Nusantara, masih belum begitu tepat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Islam benar-benar tersebar secara masif di kepulauan ini melalui peran para ulama.