Festival Babukung, Ketika Tarian Penghibur Duka Dikemas Menjadi Kegiatan Pelestarian Budaya

Sebagai warga Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Lamandau, saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kemajemukan penduduknya membuat daerah ini mempunyai potensi budaya yang khas. Ia tidak hanya menjadi khazanah budaya bangsa, tetapi juga mampu menjadi penopang utama dalam mengembangkan industri pariwisata daerah.

Salah satu potensi budaya yang dimiliki Kabupaten Lamandau adalah Festival Babukung. Ia tidak hanya menjadi tontonan masyarakat, tetapi juga merupakan refleksi seluruh aktivitas berkesenian masyarakat Lamandau. Seperti apa Festival Babukung ini?

Sekilas tentang Babukung

Babukung sendiri merupakan sebuah ritual yang hanya dapat dihadirkan ketika ada seseorang yamg meninggal dunia.

Seorang bukung menggunakan luha, courtesy of Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kabupaten Lamandau

Dalam tradisi Babukung, para penari (bukung), yang menggunakan luha (topeng dalam bahasa Tomun), berkeliling desa dengan gerakan-gerakan tari yang unik dan menghibur. Tujuan dari tarian Babukung adalah untuk menghibur masyarakat atau warga desa yang keluarganya telah berpulang ke alam baka.

Luha yang ditampilkan tidak hanya satu jenis saja. Ia tergantung pada asal muasal bukung dan luha tersebut. Setiap desa memiliki bukung dan luha dengan corak khas mereka, serta makna filosofis tersendiri.

Festival Babukung di Era Modern

Oleh pemerintah daerah, tradisi Babukung, yang dulu hanya merupakan ritual adat, kini telah dikemas menjadi atraksi budaya. Tradisi yang telah ada secara turun-temurun dan dilestarikan masyarakat adat dayak Tomun ini ditempatkan sebagai bagian dari Kharisma Event Nusantara (KEN) selama empat tahun berturut-turut.

Penari Babukung dalam Festival Babukung, courtesy of Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kabupaten Lamandau

Sekilas, Festival Babukung mirip dengan Hudoq di Kalimantan Timur, New Orleans Mardi Gras Mask Party di Amerika Serikat, Halloweed di dunia Barat, dan juga Festival Day of The Dead di Mexico. Babukung mirip dengan budaya-budaya tersebut, karena adanya penggunaan topeng dalam prosesi ritualnya. Namun, Babukung tidak hanya menari dan menghibur keluarga yang sedang berduka, tetapi juga melibatkan berbagai hasil bumi serta bantuan beras dan makanan untuk meringankan beban keluarga yang kehilangan.

Baca Juga  Invasi Mongol ke Bagdad, Awal “Era Kegelapan” Dunia Islam

Dalam festival yang akan digelar tahun 2024 ini, selain karnival luha, terdapat pula pameran foto Babukung, lomba tari Babukung, serta upaya pemecahan rekor MURI 1000 bukung.

Festival Babukung merupakan kegiatan kebudayaan milik warga di bumi Bahaun Bakuba, yang hingga kini konsisten diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau. Ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah dan masyarakat Lamandau sangat peduli dengan adat dan budayanya.

Sekelompok bukung yang mengenakan luha dengan corak yang khas, courtesy of Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kabupaten Lamandau

Festival Babukung merupakan kegiatan kebudayaan milik warga di bumi Bahaun Bakuba yang hingga kini konsisten diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah. Babukung merupakan kesenian daerah dan kearifan lokal yang harus terus menerus dilestarikan. Festival ini merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Lamandau sangat peduli dengan adat dan budaya.

Selain untuk pelestarian budaya, Festival Babukung juga dijadikan sebagai sarana promosi wisata oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau. Keberagaman dan keunikan Babukung telah memperoleh tempat khusus bagi pariwisata Indonesia, menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Babukung menjadi bukti keberagaman masyarakat Indonesia, yang tergambarkan melalui bukung dan luha yang tetap bersatu meski memiliki nilai filosofis mereka sendiri-sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *