Teori Fiksi: Sebuah Usaha Melawan Institusi Akademik

Teori Fiksi

Dalam buku What is Philosophy?, Gilles Deleuze dan Felix Guattari mengeksplorasi sejarah untuk menemukan definisi dari sains, filsafat, dan seni. Kedua filsuf tersebut mengklasifikasikan ragam kegiatan berpikir tersebut menurut proses atau cara berpikir: filsafat bekerja secara konseptual, sains bekerja secara fungsional, dan seni bekerja secara sensual, atau terkait dengan indra atau sense.

Tentu, klasifikasi tersebut bukan bertujuan untuk membagi mana ranah institusi filsafat, sains, atau seni. Klasifikasi tersebut bukan pula dimaksudkan untuk membatasi cara berpikir seseorang terhadap suatu hal. Ia menunjukan bahwa ketiga kegiatan berpikir tersebut memiliki operasi atau logika yang kreatif, dan menegaskan bahwa ketiga bidang tersebut saling berkaitan, dan memengaruhi dalam sejarah manusia.

Pada saat ini, kegiatan berpikir dalam ranah akademik memiliki variasi cara penyampaian ilmu. Genre sci-fi atau fiksi ilmiah menjadi gaya yang populer dalam menyampaikan temuan dan gagasan saintifik.

Seni, seperti film dan sastra, dinilai sebagai medium yang inklusif. Narasi dalam seni mampu menyampaikan temuan dalam komunitas ilmiah sehingga mampu dipahami oleh masyarakat awam melalui pendekatan yang menstimulasi perasaan atau sense. .

Selain fiksi ilmiah, yang menggunakan karya seni untuk menyampaikan gagasan saintifik, terdapat juga genre teori-fiksi atau theory-fiction. Teori-fiksi sering menggunakan sastra sebagai sarana dalam menyampaikan pemikirannya. 

Tetapi, berbeda dari fiksi ilmiah yang mencoba mengemukakan gagasan secara menyenangkan, teori fiksi memiliki visi yang lebih radikal, yaitu mencoba melawan institusi akademik dengan mengaburkan kenyataan dan fiksi.

Melawan Tradisi Ilmiah

Pada akhir dekade 90-an, internet dan media sosial menjadi trend baru. Masyarakat menggunakan istilah ruang digital (cyberspace) atau dunia maya untuk menggambarkan suatu ruang sosial baru yang dapat menyebarkan informasi secara cepat dan masif. Kehadiran ruang siber juga merevaluasi makna ruang dalam masyarakat, yaitu ruang tidak dimaknai sebagai tempat, tetapi hubungan atau konektivitas.

Baca Juga  Tembok Berlin, dari Hidup dalam Ketakutan sampai Semangat Kebebasan

Kehadiran informasi di dalam internet tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Internet, yang kala itu masih merupakan terra incognita tentu membuat masyarakat skeptis.

Michel Serres menilai bahwa perilaku masyarakat modern dalam komunikasi layaknya manusia yang mendapatkan “wahyu” malaikat. Entah berasal dari mana dan dari siapa, informasi tersebut langsung dipercaya secara buta dan menyebar begitu saja.

Michel Serres (1930-2019), filsuf Prancis, courtesy of Simple English Wikipedia

Sentimen terhadap komunitas ilmiah juga muncul kala itu. “Jangan menggunakan sumber dari wikipedia atau blogspot” menjadi semacam mitologi akademik yang dipelihara sampai hari ini.

Namun, sekelompok cendekiawan dari Universitas Warwick tidak menyukai hegemoni institusi ilmiah tersebut. Pada 1999, mereka kemudian berkumpul, membentuk suatu kultus lintas disiplin, dan menggunakan internet sebagai medium khotbahnya.

Cybernetics Culture Research Unit (CCRU) adalah lingkar studi interdisipliner yang mempublikasikan riset mereka secara tidak biasa. Alih-alih menggunakan standardisasi ilmiah dan metodologi ketat, lingkar studi tersebut justru mengemas riset mereka secara sastrawi, yang terkadang sering dianggap tidak rasional. Selain penyampaian riset yang sastrawi, bidang riset mereka juga terbilang nyeleneh, seperti okultisme dan Lovecraftian.

Disayangkan, pada 2003, lingkar studi tersebut menghilang, dalam artian tidak lagi produktif. Website CCRU juga sempat mengalami pemblokiran, dan kemudian terhapus.

Tetapi, dengan Wayback Machine milik Internet Archive, tulisan-tulisan dalam website CCRU masih dapat diakses. Pada November 2022, Urbanomic menerbitkan tulisan-tulisan CCRU dalam bentuk buku digital (ebook).

Narasi Spekulatif-Deliberatif

CCRU menjadi inspirasi bagi berkembangnya kultur “philo-blogging”atau“theory-blogging” dalam teori-fiksi. Berdasarkan pengaruh CCRU, teori-fiksi tidak dapat lepas dari ideologi yang diusung lingkar studi tersebut, yaitu melawan eksklusivitas narasi, tradisi dan metodologi komunitas ilmiah. Ruang digital kemudian menjelma menjadi sarana perlawanan untuk menciptakan suatu pengetahuan yang open access dan deliberatif.

Baca Juga  Banjir Terbesar Spanyol Oktober 2024: Penyebab, Dampak, dan Respons Masyarakat

Teori-fiksi memiliki ciri khas dalam penyampaian pesannya. Narasi yang disampaikan dibuat untuk mencampurkan, atau mengaburkan batas antara kenyataan dan fiksi. Pembaca tidak dapat mudah mengetahui manakah teks yang bersifat fiksi dan manakah teks yang teoritis. Hal ini tidak terlepas dari unsur spekulatif yang menjadi zeitgeist dari genre tersebut.

Cybernetics Culture Research Unit, courtesy of Fabula

Unsur spekulatif dalam teori-fiksi, atau bagi komunitas filsafat sering disebut dengan realisme spekulatif adalah pemahaman bahwa terdapat realitas yang independen dari manusia. Untuk menyelidiki realitas yang independen tersebut, pendekatan berpikir secara spekulatif dan non-antroposentris menjadi penting untuk membuka setiap kemungkinan yang ada.

Cara berpikir spekulatif dalam narasi teori-fiksi menghapus sekat-sekat antara yang ilmiah, yang sastra, dan yang filosofis, adalah suatu metode baru untuk mengakses realitas secara penuh.

Selain masalah filosofis, teori-fiksi juga hadir untuk memberi cara baru dalam mengakses pengetahuan ketika orang-orang sudah jenuh dan tidak lagi menganggap serius suatu teori.

Teori-Fiksi: Perjalanan yang Belum Usai

Meskipun teori-fiksi masih tetap dianggap sebagai kegiatan bawah tanah pada hari ini, genre tersebut perlahan-lahan mulai mendapat perhatian komunitas ilmiah. Sebagai contoh, Urbanomics memberi tag khusus genre teori-fiksi di halaman situsnya. Kini, semakin banyak penulis teori-fiksi yang kemudian perlahan terkenal dengan gaya berpikirnya yang khas.

Sebagai contoh buku Capitalist Realism karya Mark Fisher sering menjadi rujukan analisis wacana Marxisme kontemporer, terkhusus perihal relasi antara budaya populer dan masyarakat kapitalisme lanjut. Karya tersebut adalah kompilasi pemikiran Fisher selama di CCRU dan blog pribadinya, K-Punk.

Mark Fisher (1968-2017), teoretikus dan penulis Capitalist Realism, courtesy of Vice

Di luar CCRU, ada nama Simon Sellars yang terkenal melalui karya Applied Ballardianism yang berisi eksperimen hidup melalui perspektif “dunia fiksi”. Kemudian, dalam diskursus ekologis, Timothy Morton membangun wacana ekologi tanpa alam melalui karya akademik dan tulisan-tulisan blognya. Berikutnya, Ian Bogost mengembangkan narasi filsafat dalam bentuk gim video, dengan memadukan konsep simulasi dan budaya populer dalam teori-fiksi.

Penutup

Perkembangan genre teori-fiksi menunjukan bahwa kegiatan keilmuan juga dapat berkembang melalui pendekatan yang berbeda. Teori-fiksi juga menunjukan bahwa diskursus lintas disiplin dapat ditempuh melalui narasi yang fleksibel. Tidak menutup kemungkinan, bahwa progresivitas ilmu mampu ditempuh secara alternatif, di luar bangunan institusional.

Baca Juga  Filsafat dan Agama, Dua Jalan Mencapai Kebenaran

Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas ilmiah. Seringkali, perkembangan ilmu hanya berakhir pada laboratorium, kertas jurnal, atau seminar yang bersifat seremonial sehingga ilmu tidak mampu didistribusikan ke masyarakat luas.

Melalui teori-fiksi, kita dapat melihat kedigdayaan sastra sebagai cara penyampaian narasi yang demokratis. Seperti konsep yang diajukan Deleuze dan Guattari, sastra mampu menciptakan kesadaran melalui perbendaharaan bahasanya. Teori-fiksi, pada akhirnya, dapat dijadikan pilihan sebagai sarana distribusi pengetahuan dari komunitas ilmiah kepada masyarakat luas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *