Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan suatu kajian tentang tema yang mengangkat mitologi yang berperan besar dalam dinamika sejarah pergerakan masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) ke Maluku. Hal itu berdasar pada kajian yang dilakukan oleh Dosen Universitas Indonesia, Geger Riyanto yang berjudul “Dari Siluman jadi Nenek Moyang: Dinamika Sejarah Mistis di Tengah Pergerakan ke Maluku”.
Geger menjelaskan bahwa terdapat mitos pada masyarakat Sulawesi Tenggara, di wilayah Munda dan Buton, mengenai La Ode Wuna sebagai penjelmaan makhluk setengah ular. Dikisahkan Geger, pada akhirnya, siluman ular ini diresmikan sebagai nenek moyang dari sejarah pergerakan Maluku. Mitos tersebut kemudian berkembang di sana.
”Selanjutnya, hal itu sebagai sekelumit kisah yang mewakili cerita mistis di tengah masyarakat Indonesia yang dipercaya menjadi salah satu budaya Indonesia,” ucap Geger dalam Forum Diskusi Budaya ke-73 “Dari Siluman Jadi Nenek Moyang: Dinamika Sejarah Mistis di Tengah Pergerakan ke Maluku, Senin (25/3).
Dalam ulasannya, Geger bercerita dari sisi struktur mitos, bahwa La ode Wuna, yang disebut – sebut sebagai sosok ular setengah manusia, merupakan pangeran dari Muna yang diusir. Meskipun tidak ada penjelasan sejarah yang spesifik, cerita ini dimungkinkan terjadi di masa kerajaan dahulu kala. ”Jika berbicara dalam kondisi sekarang, ini merefleksikan pergerakan orang Buton ke Maluku Tengah yang berlangsung intens akhir abad ke-19 sampai hari ini,” terangnya.
Lebih lanjut, Geger menjelaskan bahwa sejak dahulu, sebetulnya Buton tergabung masuk ke dalam Maluku. Dijelaskannya, Kesultanan Buton merupakan bagian dari “Dunia Maluku” yang berpusat di Ternate. Geger menegaskan, cerita itu muncul dalam catatan kronikus portugis bernama Antonio Galvao yang sempat tinggal di Ternate tahun 1536 – 1539.
Ia menemukan mitos yang disebut sebagai mitos Bikusagara, seorang tetua di Ternate yang menemukan empat telur naga. Empat telur naga ini kemudian menetas dan lahir empat manusia. Ketika dewasa, mereka menjadi Raja Bacan, Raja Papua, Raja Butung (Raja Buton) dan Banggai, dan istri Raja loloda.
Di sisi lain, Geger mengisahkan migrasi orang Buton ke Maluku yang bersifat ekonomis. Mereka datang karena ada kesempatan kerja pasca industrialisasi eropa. Yaitu dengan membuka kebun kelapa, juga bekerja sebagai buruh musiman di kebun cengkeh orang Maluku. Sebelumnya mereka sudah memiliki jaringan dagang dengan Maluku Tengah.
Geger mengulas hal lain, cerita La Ode Wuna sangat beragam. Kisah tersebut selalu diulang-ulang. Hal itu menjadi elemen kontradiktif yang paling mudah diingat. Ia dikisahkan sebagai anak Sultan Muna yang berbadan separuh ular, yang mendapat hukuman dikurung dan diusir oleh ayahnya karena sebuah skandal. Setelah itu ia pergi ke Seram. Ia digambarkan sebagai sosok sakti yang bisa hadir kapan pun, menjadi pelindung dan pemberi berkah untuk orang banyak.
Dalam banyak cerita, La Ode Wuna diintegrasikan dalam sejarah mistis dunia Maluku. Ia muncul dalam sejarah mistis sebagai utusan kerajaan luar dalam mitos di Waraka, tahun 1973-1974. saat itu, orang Buton belum dikaitkan dengan La Ode Wuna. Tujuannya agar masyarakat Seram memiliki ritual dan mitos untuk mengintegrasikan ‘yang asing’ ke dalam masyarakat mereka dan terhubung dalam kosmologi mereka.
Kemudian Geger memperjelas, karena diintegrasikan dalam sejarah mistis Maluku dan banyak diceritakan di antara komunitas-komunitas, La Ode Wuna diambil balik oleh orang Buton sebagai bukti sejarah. Karena orang Buton mengalami diskriminasi dan direndahkan sebagai orang asing di Maluku.
Dari ceritanya, Geger lantas menyebutnya dengan sebutan sebagai ‘teteh ular’. Ia kemudian menjadi subjek kontroversi yang lebih luas di Maluku Tengah. Karena banyak orang di Maluku Tengah tidak suka dengan klaim sejarah mistis La Ode Wuna yang dianggap ‘ngawur’ sehingga menjadi tema eksotis di antara orang-orang Sulawesi Tenggara sendiri.
Pembahasan tersebut ditanggapi oleh Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Hutomo. Menurutnya, dari kisah penuturan Geger, bukan lantaran sifatnya sentimental, pulau di dunia ini bahkan diterima atau menjadi satu kesatuan dari komunitas yang ada di Maluku yang berasal dari Buton. ”Secara tidak langsung, mitos ini mempunyai peranan penting dalam komunitas Maluku sendiri. Walaupun ada beberapa konteks di mana mitos tersebut menyajikan kepada manusia tentang sesuatu untuk dipercaya dan ditakuti,” ujarnya.
Namun, lanjut Hutomo, di sisi lain hal itu juga membawa harapan bagi manusia. Secara tidak langsung cerita tersebut mengandung beberapa nilai tentang aktivitas kehidupan manusia untuk tidak saling memusuhi dan bersinggungan. Mereka saling akur atau rukun. Maka, hal-hal tersebut jika dilihat dari sisi kultur atau budaya, hal itu menjadi penting dalam suatu komunitas atau budaya tertentu.
*Diterbitkan kembali dari situs resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang terbit pada 26 Maret 2024 dengan judul yang sama.