Sindhen belakangan ini dipandang sebagai permata yang bersinar oleh sebagian orang. Ia telah menjelma menjadi sosok monumental yang memanifestasikan kebudayaan Jawa. Salah satu faktor yang memengaruhi pandangan ini adalah karena sindhen sering kali tampil sebagai ikon dalam berbagai pertunjukan, seperti wayang, campursari, dan lainnya.
Belakangan muncul fenomena baru mengenai sindhen dengan tingkah laku yang tak biasa. Ada yang melawak, memakai topeng, menaiki punggung pelawak lain, hingga melakukan jumpalitan yang mengundang gelak tawa.
Fenomena tingkah laku sindhen dalam pertunjukan ini, mencerminkan perubahan peranannya. Perubahan peran ini kemudian memengaruhi sajian pertunjukan, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Evolusi Tema Sindhen dalam Karawitan Jawa
Sindhen secara umum dimaknai sebagai seorang penyanyi dalam karawitan Jawa. Istilah “sindhen” sebenarnya baru populer beberapa dekade terakhir. Sebelumnya, penyanyi dalam gamelan Jawa kuno disebut widu.
Hal ini didasarkan pada prasasti-prasasti era Jawa Kuno yang mencatat istilah tersebut, seperti Prasasti Waharu I (873 M), Alasantan (939 M), dan Wukajana (908 M). Ketiga prasasti ini secara garis besar mengisahkan tentang sebuah pertunjukan yang dihelat untuk menisbatkan suatu daerah sebagai tanah perdikan.
Istilah “sindhen” mulai muncul dalam Serat Centhini (1814–1823) dan serat-serat sesudahnya. Namun, pada masa itu, istilah “sindhen” merujuk pada tembang atau nyanyian, bukan orang yang menyanyikannya. Penyanyi yang melakukan sindhenan disebut waranggana. Secara etimologis, “waranggana” berasal dari kata wara (perempuan) dan anggana (sendiri), yang berarti perempuan yang menyanyi. Istilah ini muncul karena dahulu waranggana biasanya merupakan satu-satunya perempuan di antara para niyaga (penabuh gamelan) yang mayoritas laki-laki.

Sejak kapan istilah “waranggana” mengacu pada lebih dari satu penyanyi perempuan? Data pertama yang menunjukkan keberadaan dua waranggana atau lebih baru ditemukan dalam tulisan Sasrasuganda tahun 1921.
Dalam serat-serat yang lebih muda, seperti karya Padmasusastra tahun 1899, penyanyi dalam karawitan Jawa mulai disebut pesindhen. Pada saat itu, istilah “waranggana” masih digunakan, tetapi mulai memiliki padanan, yakni “pesindhen.” Kini, penyanyi perempuan dalam karawitan Jawa lebih sering disebut sindhen.
Istilah ini mengalami perubahan makna, dari awalnya sebagai predikat menjadi subjek. Penyebutan “sindhen” sebagai subjek diperkirakan mulai umum pada awal 1900-an, berdasarkan tulisan-tulisan terbitan Radya Pustaka yang sering menggunakan istilah tersebut.
Penelusuran terhadap istilah “sindhen” menunjukkan transformasi makna yang berkaitan dengan perubahan peran dan fungsi penyanyi perempuan dalam gamelan Jawa. Melalui peneropongan ini, kita dapat memahami dinamika budaya dan sejarah yang melatarbelakangi evolusi istilah serta kedudukan sindhen dalam karawitan Jawa.
Transformasi Sindhen dalam Pertunjukan Wayang
Dalam pertunjukan wayang, sindhen biasanya duduk di sebelah kanan dalang, berjajar anggun dengan kebaya dan sanggul khasnya. Jumlah sindhen yang tampil pun tidak lagi satu atau dua orang, melainkan enam hingga delapan orang. Mereka menghadap penonton, sesekali bercermin untuk memastikan penampilan tetap sempurna, bahkan memoleskan gincu dengan gaya yang anggun.
Namun, peran sindhen tidak selalu seperti itu. Dalam kajian karawitan, sindhen dahulu dianggap sebagai instrumen penghias, sejajar dengan ricikan seperti rebab, gender, gambang, dan suling. Fungsinya adalah untuk menyempurnakan gendhing, baik secara aural maupun verbal. Sebagai satu-satunya niyaga yang menggunakan bahasa verbal, sindhen menjadi media penyampai pesan dalam gendhing, memungkinkan makna tersampaikan secara halus kepada penonton.
Secara akustik, tata letak sindhen dulu berbeda. Sebagai bagian dari instrumen penghias, mereka duduk di belakang dalang, di depan kendhang, dan menghadap ke kelir. Pergeseran posisi sindhen ke samping kanan dalang mulai terjadi sekitar tahun 1920-an.

Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh inovasi Ki Narto Sabdo, seorang maestro wayang yang gemilang pada masanya. Ki Narto memandang sindhen tidak cukup hanya sebagai instrumen; ia melihat potensi sindhen sebagai elemen visual yang dapat menarik perhatian penonton. Dengan memindahkan posisi sindhen ke sisi kanan dalang, ia memperlihatkan pesona dan kemolekan sindhen kepada penonton. Langkah ini sukses besar, membuat pertunjukan Ki Narto semakin diminati. Sejak saat itu, sindhen juga mengambil peran sebagai ikon pertunjukan.
Warisan inovasi Ki Narto diteruskan oleh banyak dalang lainnya. Beberapa bahkan mengembangkan peran sindhen dengan melibatkan mereka dalam adegan komedi, seperti yang terjadi pada adegan gara-gara. Menurut Allaso (2023), tradisi sindhen membanyol dimulai pada pertunjukan inovatif yang digagas oleh PANTAP (Pakeliran Panitia Tetap) pada 1990-an. Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono adalah dua dalang kondang yang mengadopsi konsep ini.
Kini, peran sindhen semakin berkembang. Mereka tak hanya bernyanyi tetapi juga melawak dan bergoyang, menambah daya tarik pertunjukan. Konsep ini menciptakan pengalaman yang menyegarkan bagi penonton, menjadi daya magnet yang kuat hingga banyak dalang mengadopsinya.
Namun, perkembangan ini tidak lepas dari kontroversi. Beberapa sindhen dianggap terlalu berlebihan ketika memikat gelak tawa, seperti memakai topeng, melompat ke punggung pelawak lain, atau melakukan aksi-aksi yang dinilai tidak pantas. Mereka lupa bahwa sindhen adalah simbol budaya yang penuh nilai-nilai luhur. Sebagai bagian dari tradisi Jawa, sindhen tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan yang menyampaikan pesan moral melalui syair-syair dalam lakon pewayangan.
Rekonstruksi Wajah Per-sindhen-an dalam Pewayangan
Konsep penyajian sindhen yang segar dalam pewayangan telah merekonstruksi wajah persindhenan secara signifikan. Profesi sindhen kini menjelma menjadi tembok kokoh yang menjulang, dengan pengaruh yang meluas ke berbagai lini.
Pertama adalah perubahan perilaku sindhen. Sindhen, yang pada awalnya berfungsi sebagai instrumen gamelan, kini berada pada tataran yang berbeda dibandingkan dengan para niyaga lainnya. Perubahan fungsi dari ikon aural menjadi ikon visual-aural menjadikan sindhen seperti vokalis dalam sebuah band, di mana mereka menjadi pusat perhatian dalam pertunjukan. Tak heran, sindhen sering kali memeriksa penampilan mereka dengan cermin kecil untuk memastikan kesempurnaan paras.
Kedua adalah dampak finansial. Sindhen modern memiliki honor yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan niyaga lainnya, termasuk penabuh kendhang, gender, rebab, dan suling—yang sebelumnya dikenal memiliki tingkat honor tertinggi karena kerumitan teknis permainan mereka.

Ketiga adalah perubahan pamor. Sindhen lambat laun mulai mengungguli pamor dalang. Hal ini terkait dengan perubahan minat masyarakat terhadap pertunjukan wayang. Banyak penonton kini hanya tertarik pada adegan limbukan atau gara-gara, dua segmen guyonan yang menjadi ruang utama bagi sindhen untuk menampilkan kebolehannya. Penonton datang menjelang adegan ini dimulai dan pergi setelah adegan selesai, menandakan bahwa orientasi mereka kini lebih pada hiburan daripada tuntunan.
Selain itu, ketertarikan masyarakat terhadap sindhen juga semakin mencolok. Jika dahulu pertanyaan pertama yang muncul saat ada pagelaran wayang adalah “Siapa dalangnya?”, kini yang sering ditanyakan adalah “Siapa sindhennya?” Fenomena ini menunjukkan bahwa daya tarik masyarakat terhadap kemolekan sindhen telah menggeser perhatian dari kewibawaan dalang.
Transformasi peran sindhen ini menghadirkan puspawarna dampak. Di satu sisi, perubahan ini menyegarkan pertunjukan wayang, menjadikannya lebih menarik bagi khalayak modern. Namun, di sisi lain, transfigurasi ini juga membawa imbas yang perlu direfleksikan. Ekosistem pewayangan, baik secara tekstual maupun kontekstual, berpotensi mengalami ketidakseimbangan.
Oleh karena itu, diperlukan refleksi bersama dari semua pihak yang terlibat dalam jagat pewayangan. Dengan kesadaran terhadap kedudukan masing-masing, wayang beserta semesta yang melingkupinya dapat terus lestari, menjaga harmoni antara tradisi dan modernitas.