Anwar Sadat merupakan presiden ketiga yang pernah berkuasa di Mesir. Melansir dari tulisan P. Meilasari berjudul Mesir pada Masa Pemerintahan Anwar Sadat: Upaya Anwar Sadat dalam Perdamaian Mesir-Israel, Sadat merupakan seorang keturunan Sudan yang lahir di Mesir. Ayahnya adalah penduduk Mesir, sementara ibunya berasal dari Sudan.
Setelah Nasser wafat, tongkat estafet kepemimpinan Mesir beralih ke Anwar Sadat. Alasan dipilihnya Sadat menjadi presiden karena citra Mesir dipertaruhkan saat itu. Menurut M. Ahmad dalam tulisan Peranan Anwar Sadat dalam Menyelesaikan Konflik antara Mesir-Israel tahun 1971-1979, Anwar Sadat mewariskan konflik antara Mesir dan Israel.
Selama menjadi presiden Mesir, Anwar Sadat banyak membuat kebijakan yang kontroversial. Kebijakannya banyak menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Apa saja kebijakan kontroversial seorang Anwar Sadat?
Mengembalikan Bantuan Militer Uni Soviet
Pengembalian bantuan militer ke Uni Soviet merupakan salah satu kebijakan Anwar Sadat yang bisa membuat negara sahabatnya terheran-heran. Dahulu, Mesir menjalin hubungan yang begitu erat dengan Uni Soviet, bagaikan sahabat sejati. Namun, lambat laun, Anwar Sadat justru berpindah haluan ke Amerika Serikat.
Anwar Sadat mengambil keputusan itu karena dipengaruhi rasa kekecewaannya kepada Uni Soviet. Mengutip M. Ahmad, Uni Soviet seringkali mengingkari janjinya untuk memberikan bantuan senjata yang dibutuhkan Mesir.
Awalnya, Uni Soviet bersedia memberikan bantuan pesawat tempur kepada Mesir. Tetapi, Mesir harus meminta izin kepada Uni Soviet. Selain itu, India, yang merupakan negara sahabat dari Mesir, justru dilarang oleh Uni Soviet untuk mengirim bantuan senjata. Inilah yang membuat Anwar Sadat berusaha untuk membatalkan Pakta Persahabatan Mesir-Israel.
Akibat hal ini, prajurit Uni Soviet diusir dari Mesir. Perlengkapan senjata yang berasal dari Uni Soviet juga ikut dikembalikan. Mengutip M. Ahmad, senjata yang dikembalikan kepada Uni Soviet berupa empat buah pesawat tempur MIG-25 dan satu stasiun awak Soviet.
Berdamai dengan Israel
Mesir, yang seringkali berkonflik dengan Israel, justru meminta untuk berdamai dengan pihak musuh. Mengutip M. Ahmad, Anwar Sadat mulai memutuskan kebijakan itu sejak 4 Februari 1971. Namun, kebijakan ini justru ditolak secara tegas oleh Golda Meier, perdana menteri Mesir, maupun Moshe Dayan, menteri pertahanan Mesir. Rakyat Mesir juga terkejut dengan langkah yang diambil Sadat.
Namun, keinginan Sadat untuk berdamai dengan Israel disambut baik oleh Amerika Serikat. Di pihak Israel, mereka tidak menanggapi keinginan Mesir. Keengganan Israel memantik terjadinya Perang Yom-Kipur pada 1973, yang tidak bisa dihindarkan oleh Mesir dan Israel.
Mengutip M. Ahmad, saat Mesir hampir mendapatkan kemenangan pada perang itu, Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, mendesak Anwar Sadat untuk melakukan gencatan senjata. Jika pihak Mesir menolak, Amerika Serikat bersedia membantu Israel untuk memerangi Mesir. Pada 19 Oktober 1973, Anwar Sadat terpaksa menerima usulan itu karena tidak mau berperang dengan Amerika Serikat.
Untuk berdamai dengan Israel, Anwar Sadat bersedia untuk melakukan penarikan pasukan dan mengembalikan mayat prajurit Israel yang tewas. Selain itu, Anwar Sadat menjalin kerja sama dengan Kissinger dan Jimmy Carter, presiden Amerika Serikat kala itu, untuk mengupayakan perdamaian dengan Israel. Menurut P. Meilasari, Anwar Sadat rela mengunjungi Yerusalem untuk menghadiri undangan dari Menachem Begim, perdana menteri Israel.
Mengutip M. Ahmad, perundingan antara Mesir dengan Israel belum menemukan kesepakatan. Amerika Serikat muncul, ikut campur sebagai pihak penengah dalam perundingan kedua negara tersebut.
Jimmy Carter berinisiatif untuk mengadakan perundingan di Camp David, Amerika Serikat. Perundingan ini berlangsung selama 13 hari pada September 1978. Akhirnya, perjanjian tersebut menormalisasi hubungan antara Mesir dengan Israel.
Perdamaian ini mendapat respon negatif dari bangsa Arab. Mengutip P. Meilasari, Liga Arab membekukan keanggotaan Mesir pada 1979. Negara-negara Arab juga menghentikan semua bantuan kredit kepada Mesir.
Selain itu, sekelompok rakyat Mesir melakukan protes kepada Anwar Sadat. Hal ini berdampak terhadap stabilitas politik Mesir yang mulai mengalami gangguan.
Menerapkan Liberalisasi Ekonomi melalui Infitah
Sebelum Anwar Sadat terpilih menjadi Presiden Mesir, sistem ekonomi yang dianut negara Mesir adalah ekonomi sosialis yang bersifat sentralistis. Pada saat Mesir mengalami krisis moneter tahun 1973, Mesir mencoba beralih ke sistem ekonomi pasar bebas. Hal ini membuat Anwar Sadat mulai memberlakukan infitah policy atau dikenal kebijakan pintu terbuka pada 1974.
Kebijakan infitah adalah kebijakan ekonomi terbuka, yang di dalamnya meliputi kebijakan liberalisasi ekonomi. Dilansir dari tulisan B. Kurniawan berjudul Liberalisasi Politik dan Ekonomi (Infitah) di Mesir 1970-1995: Analisa Ekonomi Politik dan Transisi Demokrasi, tujuan infitah adalah untuk menarik investor asing supaya menanamkan modalnya di Mesir.
Infitah menimbulkan kontroversi, karena Anwar Sadat berani ambil risiko dengan mengubah sistem ekonomi Mesir. Kebijakan ini juga menimbulkan ketergantungan ekonomi Mesir yang bercondong kepada blok Barat.
Infitah hanya menguntungkan bangsa asing dan para miliyuner Mesir. Akibatnya menimbulkan kesenjangan sosial yang signifikan bagi penduduk Mesir.
Anwar Sadat adalah pemimpin Mesir yang membawa Mesir untuk memihak poros kapitalis. Tiga kebijakan kontroversialnya, yakni mengusir Uni Soviet, berdamai dengan Israel, dan menerapkan liberalisasi ekonomi dari infitah, menegaskan hal tersebut. Kebijakan tersebut, hingga kini, masih menjadi kontroversi dalam sejarah Mesir.
Penjelasannya sangat mudah dimengerti, keren..
waw sangat informatif