Pada 15 November 2022, rijsttafel ditetapkan Belanda sebagai “Warisan Budaya Tak Benda”. Penetapan rijsttafel menjadi “Warisan Budaya Tak Benda” melambangkan proses kolonialisasi yang sangat mempengaruhi tata kehidupan masyarakat Hindia Belanda pada abad ke-19. Dalam bahasa gastronomi, penduduk Eropa menyantap berbagai makanan lokal dengan bantuan tenaga orang Indonesia, mau tidak mau.
Dalam artikelnya “Makanlah Nasi (Eat Rice!)”, Matthijs Kuipers mengatakan bahwa pemerintah Belanda mengkampanyekan rijsttafel di Den Haag ketika masyarakat Eropa kembali ke tanah kelahiran mereka, setelah meninggalkan koloni untuk selama-lamanya. Perubahan yang mereka alami di tanah koloni menjadi benturan dalam cara makan mereka. Menu nasi, makanan berbumbu rempah, dan mengandung bawang merupakan kebudayaan tanah jajahan yang melekat dalam diri para perantau tersebut.
Perjalanan rijstaffel, sebenarnya, tidak semewah penggambaran sudut pandang masyarakat Eropa yang pernah hidup di Hindia Belanda. Fadly Rahman, dalam buku Rijsttafel, Budaya Kuliner Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 dan artikel “Kuliner Sebagai Identitas Keindonesiaan” mengatakan bahwa rijsttafel merupakan penemuan yang tidak sengaja. Pekerja Eropa yang datang ke Hindia Belanda banyak yang membujang dan mengambil pembantu wanita pribumi sebagai pengurus rumah tangga. Kebiasaan makan pribumi, yang menyantap nasi dengan berbagai lauk serta sambal, disajikan juga untuk tuan-tuan mereka. Ini menjadi kebiasaan sehari-hari masyarakat Belanda di Hindia.
Sebelum itu, tradisi makan besar dalam masyarakat Hindia Belanda merupakan sebuah kemewahan, baik untuk pribumi maupun Belanda. Makan besar kebanyakan dilakukan oleh golongan bangsawan saja. Dalam buku Konsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1990, saya menulis mengenai pengaruh cara makan bangsawan di Jawa yang mempengaruhi gastronomi orang Eropa dan masyarakat di bawahnya.
Tradisi rijsttafel di Hindia Belanda diwujudkan dalam acara makan-makan, dengan para tamu duduk mengelilingi sebuah meja besar, yang akan ditempatkan berbagai jenis makanan oleh puluhan pelayan yang bergerak menuju meja besar tersebut. Para pelayan menggunakan pakaian formal, meski tanpa alas kaki. Mereka berkeliling menghampiri tamu yang membutuhkan menu yang mereka bawa. Hidangan yang disajikan umumnya adalah varian nasi dengan lauk utama sayur berkuah santan, serundeng, sop daging-dagingan atau kacang, dan aneka sambal. Sajian rijsttafel ini kemudian ditutup dengan minuman anggur atau bir untuk menyegarkan diri dari pedasnya rempah.
Tradisi rijsttafel kemudian dibawa ke Belanda, dan tentunya tidak mencontoh sepenuhnya tradisi di tanah koloni. Mereka menyesuaikan rijsttafel sesuai dengan tata kehidupan dan tradisi gastronomi masyarakat Belanda. Makanan pribumi dan ketimuran digantikan dengan makanan Eropa seperti bistik dan pekedel. Meski begitu, beberapa restoran rijsttafel di Belanda menyajikan gaya makan besar tersebut dengan berbagai atribut dan simbol ke-Hindia-Belanda-an, membuat tamu yang makan serasa kembali menuju Tempo Doeloe.
Hal menarik yang bisa diamati dalam trend akhir-akhir ini adalah minat anak muda Eropa pada makanan Asia. Sejarah rijsttafel, ditambah perkembangan trend food traveling, terutama di Asia yang kaya rempah, menambah rasa penasaran mereka akan rijsttafel.
Disayangkan, tradisi ini tidak populer di bekas negara koloni, Indonesia. Terlebih, dengan adanya tradisi sejenis, seperti bancakan di Jawa Barat, selametan di Jawa, bajamba di Minang, atau megibung di Lombok, dan cara panadng masyarakat yang antipasti terhadap peninggalan Belanda membuat rijsttafel tidak digemari. Pada akhirnya, rijsttafel lebih condong menjadi warisan budaya Belanda, orang yang semula dan saat ini menikmatinya.
Meski begitu, kebudayaan rijsttafel menunjukkan kepada kita bahwa interaksi dan pertukaran budaya antara masyarakat Eropa dan Bumiputera terjadi tidak hanya dalam hal yang besar-besar saja, tetapi juga dalam tata kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Referensi
[1] Fadly Rahman. 2016. Rijsttafel : Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Fadly Rahman. 2021. “Kuliner sebagai Identitas Keindonesiaan” dalam Jurnal Sejarah, Vol. 2. No. 1.
[3] Kuipers. Matthijs. 2017. “Makanlah Nasi! (Eat Rice!): Colonial Cuisine and Popular Imperialism in The Netherlands During the Twentieth Century” dalam Global Food History. Vol. 3. No. 1.
[4] Rose Mariadewi. 2021. Konsumsi Roti di Kota Yogyakarta 1921-1990. Surabaya: Pustaka Indis.