Geef mij maar nasi goreng
Met een gebaken ei
Wat sambel en wat kroepoek
En een goed glas bier erbijBerikan aku nasi goreng saja
Dengan telur goreng
Sertakan pula sambal dan krupuk
Dan juga segelas bir yang menyegarkan
Penggalan lirik tersebut merupakan lirik lagu berjudul Geef mij maar nasi goreng, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “Berikan Aku Nasi Goreng Saja”. Lagu ini merupakan curahan hati Tante Lien yang merasa rindu suasana “Indonesia” (baca: Hindia Belanda).
Tante Lien, yang merupakan seorang seniman Indo dan kini tinggal di Belanda setelah repatriasi pada akhir 1950-an, populer membawakan lagu dengan nuansa “Tempo Doeloe.” Pada 1980-an, ia membawakan sebuah acara bertemakan “Tempo Doeloe” di televisi Belanda, dengan nama The Late Lien Show. Acara tersebut menjadi ajang nostalgia orang-orang Indo yang harus menderita repratriasi oleh Presiden Soekarno. Acara yang dibawakan dalam bahasa Belanda kreol dengan aksen Indo yang sangat kental.
Indo : Siapa dan dari mana mereka berasal?
Pada masa kolonial, masyarakat Indo menjadi salah satu kelompok etnis di Indonesia. Ia sering dianggap sebagai etnis Eropa oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Pada umumnya, mereka merupakan keturunan dari orang-orang Belanda yang menikah dengan masyarakat Bumiputera. Selain karena pernikahan beda etnis, keberadaan masyarakat Indo juga terjadi akibat pergundikan yang lumrah dilakukan laki-laki Eropa dengan wanita lokal, sehingga menghasilkan keturunan dengan etnis campuran, seperti yang dijabarkan secara mendalam oleh Reggie Baay dalam bukunya, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.
Lambat laun, masyarakat Indo mengulangi pola pernikahan tersebut, sehingga mereka menjadi etnis dengan kebudayaan yang khas. Djoko Soekiman, dalam buku berjudul Kebudayaan Indis; Dari zaman Kompeni sampai Revolusi menyebutkan bahwa masyarkat Indo membentuk kebudayaan mereka sendiri, yang dikenal sebagai kebudayaan Indis.
Kebudayaan Indis tidak sebatas kebudayaan masyarakat Eropa dengan tambahan elemen lokal. Mereka merupakan akulturasi kedua kebudayaan tersebut, sehingga menghasilkan kebudayaan baru yang khas dan berbeda.
Terdapat beberapa contoh penerapan kebudayaan Indis dalam masyarakat Indo pada masa kolonial, seperti penggunaan kebaya dalam kehidupan sehari-hari, mendirikan tempat tinggal di kawasan perkampungan, dan mengonsumsi masakan lokal sebagai panganan sehari-hari. Kebudayaan ini juga meliputi seni bangunan yang muncul pada awal abad ke-19 di Indonesia.
Pada masa kolonial, masyarakat Indo dikategorikan sebagai masyarakat Eropa. Mereka dapat mengenyam pendidikan yang sejajar dengan masyarakat Eropa “tulen”, dan dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada masyarakat Bumiputera. Dalam strata pekerjaan, mereka juga menjadi masyarakat yang berada pada posisi yang mentereng. Kebanyakan dari mereka dapat menjadi pegawai negeri golongan atas, seperti direksi, controleur, hingga menjadi asisten residen. Posisi yang khas ini yang menciptakan sebuah kultur khas, seperti tulisan Rose Mariadewi mengenai Rijsttaffel yang telah diterbitkan dalam halaman ini.
Orang Indo dalam Kemelut Revolusi dan Dekolonisasi Indonesia
Segala status yang diterima masyarakat Indo berubah ketika Jepang menduduki Indonesia. Pada masa Jepang, status mereka sebagai masyarakat “Eropa” membuat mereka harus diinterogasi tentara Jepang dan menjadi tawanan perang. Banyak dari mereka yang harus meregang nyawa di dalam kamp milik Jepang. Joty ter Kulve van Os bercerita bahwa ketika Jepang datang, ia dan seluruh keluarganya dibawa oleh Jepang tanpa persiapan apapun ke kamp interniran yang ada di Bandung dan Bogor.
Setelah pendudukan Jepang usai, dan berganti dengan Indonesia yang merdeka, keadaan masyarakat Indo cenderung lebih baik. Ini berkat keberadaan NICA yang membantu mereka untuk kembali hidup seperti sebelum Jepang datang. Kekerasan terhadap mereka pada masa tersebut juga sudah mulai berkurang.
Setelah Revolusi berlalu, keberadaan masyarakat Indo ia kembali terancam. Pada akhir dekade 1950-an, Soekarno melancarkan aksi pembatalan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar. Selain membatalkan perjanjian tersebut, ia juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik orang-orang Eropa. Nasionalisasi besar-besaran ini menyebabkan kekacauan; banyak orang Indo kehilangan pekerjaan mereka karena tergantikan oleh masyarakat Indonesia, seperti yang diungkapkan Thomas Lindblad dalam Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective.
Selain melakukan pembatalan KMB dan nasionalisasi, Soekarno juga merepatriasi orang-orang Indo yang berada di Indonesia. Menurutnya, masyarkat Indo bukan Pribumi, dan berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Repatriasi ini membuat mereka kebingungan. Walaupun mereka fasih berbahasa Belanda dan memiliki wajah seperti orang Belanda, pada dasarnya, mereka sama sekali tidak pernah pergi ke Belanda. Bagi mereka, Hindia Belanda merupakan tanah air mereka.
Pada akhirnya, banyak dari mereka terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka, dan menempati negara Belanda yang asing bagi mereka. Lagu yang dibawakan Tante Liem, yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, merupakan curahan perasaan mereka yang jauh dari negeri leluhur mereka.
Referensi
[1] Baay, Reggie. 2017. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu
[2] Djoko Soekiman. 2011. Kebudayaan Indis : dari Kompeni sampai Revolusi. Depok:
Komunitas Bambu.
[3] Lindblad, J. Thomas, Peter Post (ed.). 2009. Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective. Leiden: Brill.
[4] Niemeijer, Hendrik E. 2012. Batavia : Masyarakat Kolonial Abad XVII. Jakarta: Masup Jakarta.
[5] Ricklefs, Merle Calvin. 2003. A History of Modern Indonesia since C.1200. London: Palgrave McMillan.
[6] Spierts, Twan. 2011. “Back to Linggajati (English version) – documentary about Dutch history in Indonesia – Joty ter Kulve”. https://youtu.be/328vqH3kVgA.