Apakah Anda pernah mendengar istilah taman belajar? Bagaimana dengan kelas belajar? Apakah keduanya sama?
Secara etimologi, kata taman berasal dari bahasa Ibrani, yakni gan yang memiliki arti melindungi, dan oden yang berarti kesenangan. Istilah ini, dalam bahasa Inggris, digabungkan menjadi garden, yang berarti ruang yang dirancang untuk tujuan kegembiraan atau kesenangan.
Sedangkan, istilah kelas memiliki arti yang lebih spesifik, yaitu pengelompokan. Biasanya, pengelompokan berkaitan dengan kesamaan kriteria tertentu.
Kelas dan taman, keduanya memiliki dimensi kedalaman makna yang berbeda. Setelah memahami dan merenungkannya, kiranya sekarang bagaimana? Kelas ataukah taman?
Tulisan ini sejatinya didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman kami selama mengajar di sekolah, serta pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Taman Siswa. Ide menggunakan taman sebagai nama, seolah menegaskan akan tidak sepemahamannya seorang Ki Hadjar Dewantara dengan konsep pendidikan Barat yang berorientasi pada transfer pengetahuan.
Kelas, Sekolah, dan Belajar
Sekolah biasanya identik dengan kelas. Mereka yang belajar di dalam kelas disebut dengan belajar. Hal tersebut seakan menegaskan, bahwa mereka yang sedang mengamati bagaimana tumbuhan tumbuh dan berkembang di alam liar, tidak disebut dengan belajar, karena mereka tidak berada dalam kelas.
Pada akhirnya, belajar menjadi sangat eksklusif, dan semakin berjarak dengan realitas karena pemahaman tersebut. Bagi Ivan Illich dalam buku Deschooling Society, kondisi tersebut pada akhirnya merusak esensi dari proses belajar. Illich mengatakan bahwa jika sekolah menuntut pada kepatuhan, ia akhirnya akan merampas kreativitas anak. Pandangan tersebut juga diungkapkan Roem Topatimasang dalam buku Sekolah Itu Candu.
Belajar tidak mesti di sekolah dan tidak mesti di kelas. Pemahaman atas sekolah menjadi kunci mengapa kesalahpahaman ini sering terjadi. Jika merujuk dari istilah, kata sekolah berasal dari bahasa Latin, skhole yang berarti waktu luang atau jeda untuk menyisipkan pengetahuan di antara kesibukan utamanya, bermain. Dari istilah ini, kemudian kata sekolah berkembang menjadi wadah, sebagaimana yang disampaikan Ramayulis dalam buku Dasar-dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan. Ia menyebutkan jika sekolah merupakan organisasi kerja atau wadah kerja sama sekelompok orang dalam bidang pendidikan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, tempat ini kemudian disempitkan menjadi kelas.
Penggunaan kelas menjadi sangat sempit, karena dari kelas, peserta didik dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu dan untuk tujuan tertentu. Realitas menjadi semakin berjarak, abstrak, atau bahkan cenderung kabur karena penyempitan ini.
Paulo Freire, masih dalam Pendidikan Kaum Tertindas, menyayangkan jika sekolah akhirnya menjadi demikian. Menurut Freire, sekolah dimaksudkan untuki meningkatkan kualitas hidup manusia, agar menjadi lebih baik.
Taman Selayang Pandang
Sebelum melanjutkan ke pembahasan berikutnya, rasanya uraian mengenai taman perlu ditambah sedikit lebih banyak, karena uraian sebelumnya masih sangat singkat. Ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenainya.
Taman tidak hanya sebatas rancangan tempat yang indah atau menggembirakan. Ia juga memiliki bentuk dan fungsi yang beragam. Russell Page, dalam buku The Education of a Gardener, menjelaskan bahwa taman berkaitan dengan keindahan alamiah yang teratur, harmoni antara warna dan bentuk, berkesan, dan memberi pengalaman. Keseluruhannya dirancang untuk memberikan dampak emosional dan estetik bagi mereka yang mengunjunginya.
Taman memiliki fungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia menjadi lebih baik. Fungsi tersebut dimaksudkan sebagai fungsi ekologi atau kelestarian lingkungan, estetika, social, rekreasi, kesehatan, edukasi, ekonomi, komunikasi, dan lingkungan hidup.
Sebagai tempat yang memiliki bentuk dan fungsi yang demikian, taman seringkali diimajinasikan sebagai tempat berlabuh atau akibat dari pencapaian tertinggi hidup seseorang. Dalam konteks agama, pencapaian tertinggi ini membuatnya disebut Taman Eden atau Taman Surga, simbol ketentraman dan kebahagiaan sejati.
Pentingnya Menggunakan Taman Belajar
Rasanya, istilah taman yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara penting untuk digali kembali potensinya, agar menjadi konsep yang hidup dalam pendidikan Indonesia. Ia tidak boleh berhenti pada slogan atau istilah semata. Istilah taman mesti dikonservasi, untuk kemudian diimplementasikan dalam sistem pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia.
Taman belajar, pertama kali dipopulerkan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menyebut atau mendefinisikan tempat belajar. Baginya, taman belajar adalah tempat yang ideal untuk proses belajar, karena sifatnya yang terbuka (bebas), alami, dan menggembirakan, sebagaimana konsep taman itu dimaksudkan.
Belajar tidak lagi menjadi sesuatu yang menyeramkan. Ia menjadi tempat yang mendukung tumbuhnya bakat, sesuai dengan minat dan potensi masing-masing anak.
Melalui taman, ruang belajar menjadi sangat dinamis, karena realitas tidak dibatasi. Ruang belajar dibangun sealamiah mungkin sehingga memungkinkan bagi anak untuk menggali informasi sesuai dengan kebutuhannya. Pada akhirnya, pembelajaran menjadi sesuatu yang alamiah dan menyenangkan, sekaligus meninggalkan kesan bagi mereka yang belajar.
Selain persoalan tersebut, ada yang menarik dari istilah taman belajar, yakni sifatnya yang terbuka. Persoalan ini pernah disinggung oleh Butet Kartaredjasa dalam Coklat Kita Guyon Sufi bersama Pri GS dan Candra Malik. Dalam siniar daring tersebut, ia menyinggung tulisannya tentang “pagar” di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo.
Pagar memiliki makna filosofis yang mendalami bagi Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo yang tidak memiliki pagar. Tanpa adanya pagar, pembelajaran menjadi saling bersinggungan antara masyarakat yang belajar di dalam padepokan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar padepokan. Masyarakat dapat melihat bagaimana anak-anak sedang berlatih seni, dan dari melihat ini, kemudian akan berdampak besar bagi seni yang akan datang. Ia dapat melahirkan seniman-seniman baru, minimal melahirkan generasi pencinta seni sebagai pengaruh masyarakat yang sering melihat aktivitas berkesenian di lingkungan padepokan.
Bisa jadi, konsep keterbukaan dalam taman belajar dapat bermakna demikian menurut benak Ki Hadjar Dewantara. Ia memiliki batas, tetapi tidak membatasi. Ia memiliki ruang, tetapi tidak mengurung atau membelenggu.
Ditulis bersama Puput Nazil Anggraeni, mahasiswa pascasarjana Universitas Sarjanawiata Tamansiswa, dan guru SMAN 1 Kaliwiro