Kajian mengenai sejarah Indonesia telah banyak dilakukan oleh sejumlah sejarawan. Tidak hanya sejarawan lokal, sejumlah sejarawan asing ikut andil dalam studi mengenai sejarah Indonesia. Tidak jarang, penelitian yang mereka lakukan menumbuhkan perasaan cinta terhadap Indonesia di dalam benak mereka. Mereka, penelitian asing yang memiliki kedekatan emosional dengan Indonesia, disebut sebagai Indonesianis.
Salah seorang Indonesianis yang memiliki kecintaan besar terhadap Indonesia adalah George McTurnan Kahin. Ia dikenal melalui bukunya, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), yang menjadi rujukan utama terkait masa Revolusi Indonesia.
Kahin, yang langsung melihat bergulirnya masa Revolusi, kian memahami dinamika yang terjadi kala itu. Ia banyak menulis laporan terkait kondisi di Indonesia dalam berbagai surat kabar di Amerika. Laporannya memuat kritik keras terhadap tindakan Belanda, dan sikap simpatinya terhadap Indonesia. Sikap simpati tersebut terejawantahkan dalam kata pengantar bukunya, yang penuh “diwarnai oleh rasa simpati yang kuat terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia”.
Tak hanya itu, sebagai bentuk kecintaannya terhadap Indonesia, ia mendirikan Cornell Indonesia Modern Project pada 1954. Lembaga tersebut berkontribusi besar dalam menumbuhkan minat penelitian terhadap Indonesia di Universitas Cornell. Tercatat, banyak peneliti dari lembaga tersebut yang membuka tabir baru mengenai sejarah Indonesia, seperti yang dilakukan Ben Anderson dan Ruth McVey lewat Cornell Paper. Ironisnya, karena Cornell Paper pula, ia harus dicekal oleh pemerintah Indonesia hingga tahun 1991.
Selain Kahin, muridnya yang kemudian menjadi Indonesianis terkemuka adalah Ben Anderson. Om Ben, sapaan akrabnya, telah banyak malang melintang dalam kajian sejarah Indonesia. Ketertarikannya terhadap kajian sejarah Indonesia tak lepas dari pengaruh sang guru.
Om Ben pertama kali mengkaji sejarah Indonesia pada dekade 1960-an. Sejak itu pula, ia mulai menaruh perhatian dan kecintaan terhadap Indonesia. Ia sering mengunjungi beberapa tempat di Indonesia, terutama Jawa. Ia mencintai Jawa, yang dalam pandangannya, memiliki kebudayaan yang menarik serta masyarakat dengan keyakinan yang teguh. Kecintaannya tersebut mengantarkan dirinya untuk mengkaji sejarah Indonesia secara lebih dalam.
Om Ben memiliki cara pandang yang simpati dan humanis. Sikap humanis inilah yang mengantarkannya dicekal oleh rezim Orde Baru. Pencekalan ini terjadi tatkala ia dan Ruth McVey menerbitkan Cornell Paper sebagai respon atas meletusnya G30S. Narasi yang mereka sajikan tidak dikehendaki oleh pemerintah. Akibatnya, Om Ben tak dapat mengunjungi negara yang ia cintai ini hingga tahun 1999.
Meski sempat dicekal, kecintaannya terhadap Indonesia tak pernah pudar. Ia tetap menginjakan kakinya kembali ke Indonesia, dan rutin mengisi berbagai kuliah umum terkait sejarah Indonesia. Saking cintanya dengan Indonesia, Om Ben “tertidur lelap” dengan diselimuti sejuknya udara Batu, Malang, pada 13 Desember 2015. Ia meninggal dunia tiga hari setelah menunaikan tugas mengisi kuliah umum di Universitas Indonesia, dalam rangka peluncuran terjemahan karyanya, Di Bawah Tiga Bendera.
Indonesianis tersohor lainnya adalah M. C. Ricklefs, sejarawan kelahiran Amerika Serikat. Sosok Ricklefs dikenal luas dalam sejarah Indonesia. Bukunya, berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, menjadi rujukan utama bagi sejarawan, mahasiswa sejarah, dan peminat sejarah Indonesia. Selain itu, ia banyak mendalami studi mengenai sejarah Jawa, Islamisasi, dan Indonesia masa kontemporer.
Sejak kedatangan pertamanya ke Indonesia pada 1969 untuk menyusun disertasi mengenai politik Jawa era Hamengkubuwono I, Ricklefs telah melakukan banyak kajian mengenai sejarah Indonesia. Kajian-kajiannya selalu berbasis pada penggunaan sumber-sumber primer. Baginya, sumber primer merupakan bagian yang sangat penting dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah. Tak mengherankan, jika kemampuannya dalam mengolah sumber primer mampu mendemitologi sejarah yang seringkali diselubungi dongeng mitos.
Sejarawan Peter Carey serta Bonnie Triyana memiliki kesan tersendiri terhadap sosok Ricklefs. Bagi mereka, Ricklefs merupakan seorang sejarawan yang tak hanya piawai dalam merekonstruksi sejarah Jawa lewat penggunaan arsip-arsip kolonial maupun penggunaan babad, tetapi juga dikenal sebagai pribadi yang hangat nan rendah hati dalam meminta pendapat. Bonnie bahkan memuji Ricklefs sebagai mahaguru sejarah, yang tetap rendah hati dan kerap meminta pendapat mengenai karangannya.
Kisah Kahin, Om Ben, dan Ricklefs, yang tidak hanya mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji sejarah Indonesia, tetapi juga ikut mencintai negeri yang bukan tanah air kelahirannya. Rasa cinta dan loyalitas mereka terhadap Indonesia, mampu menyumbangkan karya bermutu tinggi dan menjadi rujukan utama dalam diskursus ilmu sejarah di Indonesia. Sebuah kecintaan dan pengabdian yang sulit ditemukan dalam masyarakat asli Indonesia dewasa ini.
Referensi
[1] Anonim. 2011. “Sayur Asam di Ithaca” dalam Tempo. Edisi 14-20 November.
[2] Bonnie Triyana. “Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui”. https://historia.id/politik/articles/ricklefs-yang-tak-sempat-saya-temui-DO4Yw/. Diakses 28 Maret 2023.
[3] Carey, Peter. 2020. “In Memoriam: Merle Calvin Ricklefs (1943–2019)” dalam Indonesia. Vol. 110.
[4] Kahin, G. McT. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
[5] McVey, Ruth. 2016. “Ben Anderson and the Imagining of Indonesia” dalam Indonesia. Vol. 101.
[6] Melani Budianta. 2016. “Obituary: In Memoriam Benedict Anderson” dalam Wacana. Vol. 17. No. 1.
[7] Petrik Matanasi. “George Kahin, Orang Asing di Pihak yang Benar”. https://tirto.id/b2Bx. Diakses 28 Maret 2023.
[8] Werner, Jayne S. 2000. “George McT. Kahin: A Tribute” dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars. Vol. 32. No. 4.