Sebagai seorang ulama umat, sosok Mahatma Gandhi masih menjadi panutan penganut agama Hindu. Selain sosok Rabindranath Tagore dan Swami Vivekananda, segala pandangan dan petuah sang Mahatma menjadi penuntun umat Hindu, terkhusus pula di Bali. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pengutipan nama Mahatma Gandhi dalam berbagai tulisan di majalah Warta Hindu Dharma.
Meski begitu, sosok Gandhi tidak hanya milik umat Hindu. Pandangannya bersifat universal. Seluruh manusia di dunia, terlepas dari agama dan kepercayaan yang mereka anut, dapat belajar dari perjalanan hidup pelopor kemerdekaan India ini. Bahkan, menurut Ruth McVey dalam buku Kemunculan Komunisme di Indonesia, figur Gandhi menjadi satu dari beberapa figur yang menjadi panutan kelompok komunis di Hindia Belanda.
Sebagai seorang ulama-cum-pemikir, Mahatma Gandhi mengeluarkan berbagai pandangan yang menyejukan umat manusia, termasuk mengenai agama. Dalam buku From Yeravda, yang ia tulis dan renungkan selama berada dalam penjara pada 1930-an, Gandhi berpendapat bahwa seluruh agama dan kepercayaan di dunia ini dihasilkan dari satu agama tunggal.
Menurut Gandhi, agama tunggal tersebut “tak terungkapkan oleh kata”. Manusia, sebagai makhluk yang tidak sempurna, menuangkannya dalam bentuk bahasa yang ia kuasa, menafsirkannya kembali kepada orang lain yang juga tidak sempurna. Seluruh agama dan kepercayaan di dunia ini, dapat dikatakan, adalah hasil pemaknaan kembali kesempurnaan agama tunggal, dari kesempurnaan menjadi ketidaksempurnaan.
Meski agama dan kepercayaan di dunia tidak sempurna, ia masih memiliki esensi kesempurnaan. Sebagai ajaran yang mengajarkan penganutnya untuk melaksanakan amal kebajikan (dharma), mereka berada dalam alam “sempurna dalam ketidaksempurnaan”. Mereka berasal dari satu akar yang sama, yakni sebuah “agama yang tunggal”, yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata.
Apa yang dapat dihayati dari pandangan Mahatma Gandhi pada 1930-an ini? Satu hal, yakni kita perlu menyadari bahwa mempertentangkan agama dan kepercayaan satu dengan lainnya adalah hal yang sia-sia. Memandang bahwa agama dan kepercayaan sendiri lebih baik dan lebih benar dari lainnya, dan kemudian memandang rendah para penganutnya, justru bertentangan dengan prinsip ketunggalan agama yang disampaikan Gandhi.
Benar, terdapat sebuah cabang ilmu yang disebut sebagai ilmu perbandingan agama, yang masuk ke Indonesia melalui pemikiran Mukti Ali, mantan menteri agama pada masa Orde Baru. Namun, mempertentangkan agama dan melakukan perbandingan agama adalah dua hal yang berbeda.
Dalam membandingkan, kita tidak hanya melihat perbedaan dan persamaannya. Seperti yang ditunjukan dengan tepat oleh Mircea Eliade dalam buku Patterns in Comparative Religion, ilmu perbandingan agama juga melihat pola antara berbagai agama dan kepercayaan yang ada, sehingga menemukan prinsip ketunggalan darinya.
Mempertentangkan agama tidak memfokuskan diri untuk menemukan ketunggalan. Mereka hanya fokus mencari nilai pembeda, terutama pembeda yang dapat dijadikan penentu bahwa agama dan kepercayaan yang dianut lebih baik ketimbang agama dan kepercayaan lainnya. Tidak ada tujuan untuk menuju persamaan prinsip; yang tercipta hanya perselisihan dan konflik.
Apa yang disampaikan Mahatma Gandhi mengenai agama tunggal yang tidak terungkapkan oleh kata ini sederhana, yakni mencoba mengajak umat manusia di dunia untuk menghindari konflik berbasis agama dan kepercayaan. Dengan menempatkan semua agama dan kepercayaan, yang berbentuk tidak sempurna, berasal dari satu “agama tunggal” yang akmal atau maha sempurna, manusia diajak untuk menemukan pola, menuju prinsip tunggal, yakni kedamaian lahir dan batin.