Judul buku | The Slave Ship: A Human History |
Penulis | Marcus Rediker |
Penerbit | Viking |
Kota terbit | New York |
Tahun terbit | 2007 |
Halaman | 434 halaman |
Bagi sebagian besar dari kita, sejarah perdagangan budak Afrika ke benua Amerika hanya dikenang dalam sejarah sosial-ekonomi. Tulisan-tulisan yang bisa kita temukan, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris, lebih menekankan pada statistik, grafik, maupun tabel jumlah budak yang diangkat sepanjang masa perbudakan hingga 1807-1808. Tetapi, jarang terlintas dalam benak kita, bagaimana kehidupan masyarakat, dari para budak hingga para pembudak, dalam sebuah kapal pengangkut budak.
Marcus Rediker, sejarawan Amerika Serikat yang memfokuskan diri pada kajian dunia maritim Samudera Atlantik, mengungkapkan kehidupan mereka dalam The Slave Ship: A Human History. Buku ini tidak memaksa pembaca menganalisis kumpulan statistik mengenai perbudakan di Afrika. Alih-alih, The Slave Ship mengajak pembaca untuk menyelami “drama” para pedagang, kapten kapal, anak buah kapal (seaman), budak belian, hingga kelompok abolisi dalam sebuah panggung bernama kapal pengangkut budak.
Buku ini mengawali sebagian kisah dengan menampilkan catatan pendek beberapa figur (bisa kita sebut sebagai aktor) yang menjalani pergulatan hidup dalam kapal pengangkut budak. Beberapa tokoh, terutama para budak belian dan pelaut, kehidupan di atas kapal adalah kehidupan hidup dan mati. Siksaan, seperti pecutan dengan cat o-nine tails, dipaksa untuk makan, hingga ditembak dari jarak dekat, merupakan derita yang akan (atau sering) mereka alami. Tak jarang, kehidupan mereka harus berakhir di atas kapal, baik karena sakit akibat kondisi kapal yang tak layak, disiksa, depresi (fixed melancholy), dan bunuh diri dengan terjun ke laut, berakhir jadi santapan hiu.
The Slave Ship menonjolkan kisah tiga aktor dalam buku ini, yakni Olaudah Equiano, seorang budak Afrika yang mengarungi “Middle Passage” ketika masih anak-anak, James Field Stanfield, seorang pelaut yang kemudian menjadi tokoh abolisi, dan John Newton, kapten kapal pengangkut budak yang menuangkan catatan awal mengenai perdagangan budak Afrika.
Kisah Olaudah Equiano menarik untuk diselami. Berawal dari kehidupan yang damai di wilayah pedalaman Afrika, ia kemudian harus kehilangan kedamaian tersebut ketika diculik oleh kelompok suku lain untuk diperdagangkan sebagai budak. Setelah terkatung-katung beberapa waktu, ia tiba di wilayah pesisir, menyaksikan sebuah “benda ajaib dengan sayap” (yang ia maksudkan adalah kapal layar pengangkut budak dengan jaring untuk mencegah siapapun melompat ke laut). Ia dibeli oleh seorang kapten kapal, dan menghabiskan waktu beberapa bulan di atas lautan Atlantik.
Kondisi di kapal membuatnya terpikirkan mengenai kematian. Kehilangan kawan terdekat (yakni adik sendiri), mogok makan (yang berbuah hukuman oleh para pelaut), hingga interaksi dengan sesama budak dan membentuk sebuah bahasa bersama (bahkan ia bisa berbahasa Inggris dan diberi kebebasan mengarungi kapal tersebut), membuatnya menyadari arti kebebasan. Meski pada akhirnya ia tak laku di pasar budak benua Amerika (ia sendiri dibeli oleh seseorang di Inggris untuk membayar kebebasannya, dan diboyong ke Inggris), ia menuangkan pengalaman berada dalam keterasingan, perasaan ingin mati, hingga persaudaraan dengan sesama budak dalam otobiografi yang ia tulis sebagai bagian dari kampanye kelompok abolisi.
Satu hal yang mungkin luput dalam perhatian kita ketika berbicara perbudakan, adalah bagaimana kehidupan para budak selama di atas kapal. Budak laki-laki akan diikat, karena mereka puna kecenderungan untuk memberontak, sementara budak anak-anak dan wanita dibiarkan lebih bebas. Mereka ditempatkan di bagian bawah kapal dengan sedikit ruang gerak. Setiap hari, mereka menghabiskan waktu dengan duduk diam, makan, maupun “berdansa”, latihan agar mereka menjadi budak yang lebih kuat ketika kapal tiba di tujuannya.
Jika mereka membangkang, baik karena mogok makan atau berusaha menciptakan pemberontakan, mereka akan dihukum. Tingkat hukuman disesuaikan dengan keinginan kapten kapal, selaku penguasa utama kapal tersebut. Tidak jarang, mereka dieksekusi mati, dibuang ke laut, dan menjadi santapan hiu, dengan pesan agar budak belian yang lain tidak melakukan hal serupa pada kesempatan berikutnya.
Meski berasal dari wilayah yang berbeda di Afrika, mereka membentuk suatu bahasa yang sama dalam kapal pengangkut budak. Bahasa tersebut, yakni bahasa kaum budak, membuat mereka cepat akrab satu dengan yang lain. Ini pula yang dialami Equiano ketika berada di kapal pengangkut budak. Ia menjadi dekat dengan beberapa budak lelaki dan wanita di kapal tersebut, meski mereka tak satu desa dengannya.
Di kapal, kuasa mutlak berada di tangan kapten kapal. Mereka akan melakukan apa saja agar keamanan dan ketertiban terjaga di atas kapal. Tidak jarang, mereka melakukan teror dan siksaan kepada siapapun, termasuk pelaut kapalnya sendiri, yang membangkang atau menolak instruksi-instruksinya. Kondisi ini, menurut Rediker, membuat pelaut kapal pengangkut budak pada abad ke-18 bernasib sama mengenaskannya dengan para budak belian.
Pada akhir abad ke-18, suara kelompok abolisi mulai menguat. Mereka membutuhkan informasi bagaimana para budak dan pelaut diperlakukan dalam dunia perdagangan budak Afrika. Melalui gambar kapal Brooks, yang sekarang terkenal menjadi ilustrasi utama mengenai perbudakan di benua Barat, mereka menyebarkan propaganda bahwa budak belian dan pelaut diperlakukan semena-mena oleh kapten kapal. Mereka menyatakan bahwa lautan tidak “memberdayakan” para pelaut dan “memperadabkan” para budak Afrika; perdagangan budak Afrika adalah kuburan bagi mereka.
Suara mereka berhasil mencapai tujuannya ketika pada 1807, perbudakan di Inggris dihapuskan. Meski begitu, seiring dengan permintaan akan tenaga kerja yang tinggi di perkebunan-perkebunan Afrika, perdagangan budak masih tetap berlangsung, kali ini secara ilegal.
Dengan pendekatan sederhana dan ringan, The Slave Ship berhasil menyajikan “drama” kehidupan kapal pengangkut budak dengan penuh perasaan horor. Dengan bahasa yang ringan, meski dipenuhi dengan kutipan langsung di sana-sini yang membuat pembaca, terutama pembaca awam, tidak nyaman, The Slave Ship sukses menyajikan sejarah perdagangan budak dan perbudakan dengan pendekatan yang lebih humanis, tidak sekadar tumpukan statistik semata.
Buku The Slave Ship dapat menjadi rekomendasi bagi siapapun yang ingin mempelajari tentang sejarah perbudakan dan rasialisme di Amerika Serikat, maupun mereka yang sekadar ingin membaca buku sejarah yang ringan dan mampu membangkitkan imajinasi.
Bagi mahasiswa sejarah di Indonesia, buku ini dapat menjadi jawaban untuk masalah penyajian sejarah yang selama ini masih membelenggu mereka, yakni bagaimana menyajikan sejarah yang berisi, objektif, tetapi ringan dan penuh daya imajinasi.