Judul Buku | Nasionalisme & Revolusi Indonesia |
Penulis | George McTurnan Kahin |
Penerbit | Komunitas Bambu |
Kota Terbit | Depok |
Tahun Terbit | 2013 |
Halaman | xxviii + 687 halaman |
Penerjemah | Tim Komunitas Bambu |
Periode Revolusi Indonesia (1945-1950, meski lebih sering 1945-1949) menjadi periode suci dalam sejarah Indonesia. Hal tersebut terutama didasarkan pada sakralisasi terhadap ide perjuangan bangsa Indonesia melawan kedatangan kembali kolonialisme, yang diwujudkan dengan masuknya Belanda (NICA) ke Indonesia. Secara umum, periode ini dikisahkan dengan narasi yang heroik dan antineerlandosentris, memposisikan seluruh orang Indonesia sebagai pahlawan, dan orang Belanda dan lainnya sebagai penjahat.
Tetapi, apa benar periode Revoulsi Indonesiahanya dapat dikisahkan dengan model begitu saja? Oleh George McTurnan Kahin, periode tersebut dapat dikisahkan dengan pendekatan yang lebih kritis dan mendalam. Hal tersebut ia wujudkan dalam sebuah buku, yang dapat dikatakan menjadi magnum opus-nya, Nasionalisme & Revolusi Indonesia.
Dalam buku ini, perjalanan Indonesia pada masa Revolusi digambarkan dengan mendalam dan menyeluruh, lengkap dengan liputan langsung yang ia lakukan di Indonesia pada paruh kedua 1940-an. Ia berkesempatan menghubungi tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam Revolusi, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, membuat buku ini memiliki narasi yang luar biasa kaya.
Buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia memulai pengisahan dengan menyajikan latar belakang sejarah Indonesia sebelum Revolusi. Menurut Kahin, sentimen anti-Belanda, yang sangat penting untuk melihat gejolak Revolusi, telah tumbuh secara perlahan pada masa akhir pemerintahan Belanda. Para pemimpin pergerakan, terutama mereka yang nonkooperatif dan reaksioner, melihat kebijakan politik Belanda di koloni membataasi pergerakan mereka. Mereka menginginkan suasana yang lebih bebas untuk bergerak dan berpolitik, untuk mewujudkan ide-ide mereka.
Sentimen anti-Belanda semakin ditumbuhkan oleh Jepang. Jepang, dengan kebijakan mobilisasi penuh dan kontrol ketat, mengutip Aiko Kurasawa, berusaha menjaga mentalitas masyarakat Indonesia untuk tetap anti-Barat. Mereka berhasil melakukan hal tersebut; masyarakat Indonesia kini memproklamasikan kemerdekaan mereka dengan semangat anti-Belanda, antikolonialisme, dan antiimperialisme yang tinggi.
Hal tersebut terlihat nyata pada masa awal proklamasi. Menyerahnya Jepang membuat mereka harus menyambut kedatangan sekutu yang mempunyai agenda untuk melucuti Jepang. Kedatangan sekutu dibarengi dengan masuknya Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Masyarakat bergejolak, tak menerima hal tersebut. Konflik dan kekerasan terjadi di mana-mana.
Kondisi serba panas tersebut tidak dapat diredakan oleh pemerintahan Indonesia yang baru. Soekarno dan Hatta mendapatkan goncangan dari Tan Malaka, yang berusaha merebut kursi pemerintahan dan membentuk pemerintahan baru yang lebih revolusioner. Meski upaya Tan Malaka (yang didukung oleh Ahmad Subardjo) gagal, kondisi tersebut menunjukan bahwa pemerintahan Republik yang baru berdiri masih lemah untuk menjaga kontrol masyarakatnya.
Lemahnya kuasa Republik membuat partai-partai yang berdiri (dan juga baru berdiri) bergejolak. Mereka saling berselisih paham. Sebagian dari mereka bergerak mendukung pemerintahan (meski juga menolak kebijakan pemerintah seiring waktu). Sebagian lainnya, terutama kelompok komunis, menolak bekerja sama, dan memilih jalan mereka sendiri di Surakarta.
Meski saling bertentangan, mereka semua punya tujuan yang sama; sama-sama ingin kekuatan asing yang datang (Belanda) untuk enyah dari Indonesia. Penetrasi Belanda yang masuk lebih jauh ke wilayah Republik membuat Indonesia dan Belanda harus masuk meja perundingan.
Hingga 1948, dua perjanjian telah dilaksanakan, yakni Linggarjati dan Renville. Kedua perjanjian tersebut, oleh Kahin, tidak menguntungkan Indonesia. Pemerintah Indonesia, yang berharap kerja sama dari Amerika Serikat, tidak dilirik. Justru, Amerika lebih memilih untuk, secara tertutup, mendukung usaha Belanda mewujudkan keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Kondisi tersebut berubah pada Desember 1948. Agresi Militer Belanda II, yang dilakukan Belanda, berhasil merebut Yogyakarta, ibu kota Republik. Soekarno, Hatta, dan pejabat pemerintah lainnya ditahan. Meski begitu, Soekarno telah meninggalkan mandat, yang menyatakan untuk tetap melanjutkan perjuangan Republik melalui sebuah pemerintahan darurat dan gerilya.
Belanda harus menghadapi ketidaksukaan orang-orang Indonesia setelah peristiwa tersebut. Para birokrat lokal enggan mendukung mereka. Masyarakat pun demikian. Hanya segelintir orang yang mendukung Belanda, itu pun dengan alasan pragmatis.
Suara pertentangan terhadap usaha Belanda juga digemakan di luar Indonesia. Di Amerika Serikat, anggota Kongres menyuarakan kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mencopot bantuan keuangan yang diberikan Amerika kepada Belanda. Di Dewan Keamanan PBB, negara seperti India, Australia, dan Uni Soviet menentang tindakan Belanda. Di Belanda sendiri, menurut Kahin, suara protes juga menggema.
Kondisi-kondisi tersebut, pada akhirnya, memaksa Belanda untuk masuk kembali ke meja perundingan. Setelah berunding secara alot, pada 1949, lahir dua perjanjian, yakni Roem-van Royen, yang kemudian berbuah Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia menjadi salah satu bagian RIS, yang bernaung dalam Uni Indonesia-Belanda.
Meski telah mendapatkan kedaulatan dari Belanda, gejolak belum berakhir. Satu per satu negara federal yang didirikan Belanda pada masa Revolusi tumbang. Selain karena pengaruh kelompok nasionalis yang masih tinggi, kesulitan negara-negara tersebut untuk membentuk pemerintahan dan ekonomi membuat mereka akhirnya bertumbangan. Pada akhirnya, usaha Indonesia untuk menciptakan negara yang merdeka dan berdaulat terwujud, dengan kembalinya seluruh negara federal ke pangkuan Repulbik Indonesia, pada 17 Agustus 1950 (isu Irian Barat masih menjadi pembahasan setelah itu, tidak disinggung oleh Kahin).
Membaca buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia, pembaca tidak hanya membaca kisah demi kisah masa Revolusi Indonesia. Pembaca juga diajak menyelami perjalanan Kahin mengunjungi Indonesia, mengumpulkan data dan narasumber, dan mengolahnya menjadi narasi yang mengesankan. Pembaca tidak hanya menemukan kisah naratif semata; pembaca akan menemukan pengalaman langsung Kahin di Indonesia.
Kelemahan utama dari buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia hanya satu. Kelemahan ini, yang merupakan kelemahan yang diakui Kahin, adalah keberpihakan Kahin terhadap Indonesia. Dalam beberapa bagian, Kahin menarasikan Belanda sebagai sosok antagonis, dan para pejuang Republiken sebagai protagonis baik. Keberpihakan Kahin semakin terasa ketika ia bercerita mengenai diplomasi Belanda-Indonesia di luar negeri.
Meski begitu, keberpihakan tersebut tidak bisa dihindari. Kahin, yang mengalami langsung konflik antara Indonesia dan Belanda pada masa Revolusi, tidak bisa mengatakan tidak untuk memilih posisi. Siapa pun, tidak hanya Kahin, jika ditempatkan dalam kondisi sejarah yang demikian, akan memilih posisi yang mereka inginkan dalam narasi mereka. Kondisi tersebut tidak dapat dihindari, terutama untuk periode sejarah yang mengisahkan antara kolonilaisme dan imperialisme Barat menghadapi para penentangnya.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam buku ini, Nasionalisme & Revolusi Indonesia dapat menjadi bacaan awal bagi mereka yang ingin mengenal lebih dalam periode Revolusi Indonesia. Dengan pendekatan langsung Kahin, buku ini tidak hanya menyajikan kisah dan analisis semata. Buku ini menyajikan data primer mengenai Belanda dan Indonesia, data yang sudah sulit diraih saat ini.