Pada awal tahun 2024, masyarakat Indonesia dibuat pusing dengan kenaikan harga bahan pokok, terutama beras. Dihimpun melalui Kompas, kenaikan harga beras hingga Rp18.000 per kg yang terjadi pada akhir Februari 2024 merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia. Kenaikan tersebut jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Dalam sejarah Indonesia, harga beras pada masa kolonial Hindia Belanda sekitar 3 sampai 4 gulden/kg. Sejak kemerdekaan, beras awalnya dihargai 1 rupiah/kilogram. Namun, inflasi yang terjadi pada masa kepemimpinan Soekarno membuat harga beras melonjak hingga mencapai 610 rupiah/kg. Kondisi tersebut baru stabil ketika Orde Baru berkuasa, menginjak angka 340 rupiah/kg. Ini disebabkan pemerintah Orde Baru mengandanlakn Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengatur harga beras.
Kenaikan harga beras pada 2024 membuat harga komoditas nasi dan lauk pauk di warung tegal (warteg) naik 0,03%, menurut data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Kenaikan tersebut, tentu saja, mempengaruhi daya beli dan ekonomi masyarakat, khususnya kalangan menengah dan menengah ke bawah.
Menghadapi kenaikan harga beras pada awal 2024, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana impor beras sebesar tiga juta ton. Impor tersebut masih belum memenuhi kebutuhan beras nasional, yang mencapai 31,2 juta ton, sementara produksi beras pada Maret dan April 2024 masing-masing hanya sebanyak 3,54 juta ton dan 4,92 juta ton.
Melihat kondisi ini, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah ketergantungan akan adanya beras. Sejak kapan tradisi ini bermula?
Sejarah Awal Beras dan Masuknya ke Nusantara
Beras adalah produk pertanian dari padi (Oryza sativa) yang didomestifikasi sekitar 13.500 hingga 8.200 tahun yang lalu di Tiongkok, tepatnya di sepanjang tepian Sungai Panjang (Sungai Yangtze). Beras masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang Tiongkok dan India. Dengan cepat, padi menggantikan beras dari jawawut (Setaria italica), karena membutuhkan masa tanam yang lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak beras.
Menurut Risa Hendarhita Putri dalam artikel berjudul Inilah Makanan Orang Jawa di dalam situs Historia, masyarakat Jawa Kuno menghidangkan Skul Paripurna berwujud nasi tumpeng saat peresmian tanah sima, Skul Liwet yang diolah dengan pangliwetan, Skul Dinyun yang ditanak dalam periuk dan Skul Matiman yang ditim. Data ini dihimpun dari berbagai prasasti dan catatan kuno, dari masa Balitung sampai Pu Sindok yang sudah dialihaksarakan dan naskah Ramayana, serta relief candi Borobudur dan candi Prambanan, ditambah berita Cina dari dinasti Tang (618-906 M) dan Sung (960-1279 M).
Memasuki masa kolonial Hindia Belanda, beras dari padi menjadi makanan pokok masyarakat di koloni. Menurut Sajogyo & William L. Collier dalam buku Budidaya Padi di Jawa (1986), pemerintah Hindia Belanda pernah mengalami kerugian dari bertani padi pada periode 1861 hingga 1871, dengan total nilai kerugian mencapai 5.775 ton emas di 21 kota. Kerugian tersebut disebabkan oleh rendahnya produktivitas sawah serta modal yang tidak sepadan dengan banyaknya buruh tani yang bekerja.
Pemerintah Kolonial Belanda kemudian membuat kebijakan menanam sumber karbohidrat lain, seperti jagung, ketela, ubi dan kentang, Menurut Yusuf Budi Prasetya Santosa dan Hendi Irawan dalam artikel Sejarah Perkembangan Makanan Indonesia Dari Abad Ke 10 Hingga Masa Pendudukan Jepang (2023), dampaknya memunculkan variasi makanan tradisional seperti Gethuk, Tiwul, Nasi Jagung dan sejenisnya. Selain itu, secara sosial ekonomi, dianggap sebagai makanan rakyat jelata yang hidup miskin.
Namun, pada dekade 1930-an, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan impor beras, karena semakin banyaknya populasi di koloni, dan sebagai dampak Perang Dunia I. Menurut Syafaat Rahman Musyaqqat dalam artikel Antara Kuasa Negara dan Warisan Jalur Rempah: Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan Pada Dekade 1930-an (2020), salah satu daerah yang menjadi lumbung pangan saat itu adalah Sulawesi Selatan, karena menjadi wilayah dalam Jalur Perdagangan Rempah. Hal ini tertuang dalam aturan Rijstinvoer-Ordonantie pada 1933.
Setelah merdeka, Indonesia berupaya untuk mewujudkan swasembada pangan. Gagasan untuk swasembada tersebut digagas pertama kali oleh I. J. Kasimo, Menteri Negara Urusan Pangan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II pada November 1947. Ia menargetkan swasembada pangan dapat dicapai oleh Indonesia sebelum tahun 1956.
Kisah Awal Ketergantungan Beras
Awal ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras kira-kira dimulai pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, ketika berdiplomasi dengan India yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Saat itu, tepatnya pada 1946, Indonesia mengimpor 500.000 ton beras dari India. Melalui kampanye kepada publik, Soekarno meninggalkan pesan kepada masyarakat Indonesia bahwa beras merupakan simbol kemakmuran.
Di dalam pidato Pangan Rakyat Soal Hidup atau Mati pada 1952, Soekarno menyatakan bahwa tiap orang saat itu membutuhkan 86 kilogram beras per tahun. Dampak dari kampanye tersebut, masyarakat mengantre beras sejak subuh hanya untuk mendapatkan 3 liter beras, seperti terekam dalam catatan Rum Aly dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema.
Meski Soekarno pernah berkampanye mengajak masyarakat Indonesia untuk beralih ke jagung pada 1964, upaya tersebut berakhir dengan kegagalan. Masyarakat Indonesia sudah telanjur ketergantungan akan beras. Kampanye tersebut juga gagal untuk diwujudkan karena dikampanyekan bersamaan dengan Operasi Dwikora, yang memuncak pada 1965 dalam wujud peristiwa G30S. Pada periode tersebut, kondisi masyarakat Indonesia menghadapi krisis pangan akibat inflasi yang sangat tinggi.
Setelah beralih kekuasaan ke Soeharto di masa Orde Baru, kemudian mencanangkan Revolusi Hijau di tahun 1984 untuk modernisasi pertanian, agar mencapai Swasembada Pangan. Program Revolusi Hijau memiliki lima program utama, yaitu (1) menggunakan bibit unggul (2) pemupukan (3) pemberantasan hama dan penyakit (4) pengairan dan (5) perbaikan cocok tanam. Program Bimas. Menurut Seno Wibowo dalam artikel Kebijakan Revolusi Hijau Masa Orde Baru Tahun 1984 – 1998 Terhadap Dinamika Kehidupan Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus Di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten), secara sosial, Revolusi Hijau memberikan dampak terhadap meningkatkan diferensiasi wanita sebagai tenaga produksi dan reproduksi, menimbulkan ketergantungan petani terhadap institusi formal dalam bidang pertanian.
Walau akhirnya Indonesia mencapai swasembada oangan pada tahun 1984, Revolusi Hijau tetap memberikan dampak bagi masyarakat secara luas. Menurut Ferdi Gultom dan Sugeng Harianto dalam artikel Revolusi Hijau Merubah Sosial-Ekonomi Masyarakat Petani, dampak positif Revolusi Hijau, antara lain (1) meningkatkan pendapatan petani, (2) munculnya bibit unggul, (3) merangsang dinamika perekonomian masyarakat, (4) meningkatkan penguasaan teknologi petani, (5) meningkatkan pemenuhan bahan pokok, (6) menjadikan indonesia sebagai lumbung beras asia tenggara di dekade awal 1980, dan (7) mengatasi krisis kelaparan di awal orde baru. Sementara, dampak negatif, berupa (1) degradasi ekosistem, (2) kepunahan keanekaragaman hayati, (3) ketergantungan pestisida dan pupuk kimiawi, (4) perubahan iklim, (5) menurunkan peluang kerja di pedesaan, (6) kesejahteraan tidak merata, dan (7) meningkatkan pengaruh uang dalam daerah pedesaan.
Penutup
Perjalanan Indonesia sehingga menjadi negara yang sangat ketergantungan akan beras dapat kita tarik hingga ke periode kekuasaan Presiden Soekarno, ketika ia berkampanye, menyatakan bahwa beras merupakan wujud kemakmuran bangsa Indonesia. Kondisi ini mendorong masyarakat berpikir bahwa nasi harus menjadi sumber karbohidrat utama mereka, jika ingin menjadi generasi yang sejahtera.
Orde Baru melanjutkan warisan Soekarno, terutama dalam wujud Revolusi Indonesia. Meski program tersebut berhasil mendorong Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1981, program ini mendorong masyarakat Indonesia untuk semakin tenggelam dalam ketergantungan akan beras, yang dirasakan hingga kini.