Raden Ajeng Kartini (1879-1904) merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia dan pelopor emansipasi wanita. Melalui pemikirannya, Kartini berjuang untuk memberikan ruang bagi kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan.
Meski dikenal sebagai tokoh penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, kisah spiritualitas Kartini masih belum banyak diketahui publik. Meski ia merupakan seorang muslim yang taat, beberapa kalangan masih menempatkan Kartini sebagai priyayi yang jauh dengan agama Islam.
“Agama harus menjaga kita dari dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama?,” gugat Kartini mengenai agama Islam. Ia sangat ingin mendalami Al-Quran. Namun, pada akhir abad ke-19, Al-Quran belum diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu.
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar bertanggal 6 November 1899, yang dimuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menulis:
[m]engenai agamaku, Islam. Aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagipula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun agar bisa dipahami setiap muslim. Disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang belajar Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
Berikutnya, kepada R. M. Abendanon, Kartini mengungkapkan kegelisahannya yang melihat adanya pembatasan untuk mendalami Al-Quran. Lebih lanjut, Kartini menulis:
[d]an waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan ada manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang aku tidak mengerti artinya. Jangan-jangan guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlan kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Kegelisahan Kartini mulai terjawab ketika ia mendapat ilmu keagamaan Islam dari K. H. Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani, juga dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat. Keduanya bertemu dalam acara pengajian di rumah bupati Demak, Pangeran Ario Hadinigrat, paman Kartini. Saat itu kiai Sholeh sedang memberikan pengajaran tentang tafsir surat Al-Fatihah, surat pembuka dalam Al-Quran, sesuatu yang baru ia temui dan dengarkan.
Menurut penuturan cucu Kiai Sholeh Darat, Fadhila Soleh, sebagaimana dikutip melalui Akhlanudin Uhamka dalam artikel Surat RA Kartini, Tafsir Qur’an Dan Sang Guru KH Sholeh Darat, pertemuan Kartini dan kakeknya membuka jalan bagi Kartini untuk berguru padanya. Bahkan, ketertarikan tersebut mendorong Kiai Sholeh Darat untuk mengalihbahasakan Alquran ke bahasa Jawa, mengawali proses transliterasi kitab suci umat Islam tersebut untuk pertama kalinya.
Pertemuan antara Kartini dan Kiai Sholeh, membawa sang kiai kepada usahanya untuk menerjemahkan al-Qur’an. Hasil terjemahan sebanyak 13 juz dari surat al-Fatihah hingga surat Ibrahim dalam kitab berjudul Faidhur Rohman. Yang kemudian diberikan kepada Kartini sebagai hadiah perkawinan.
Kartini mempelajari naskah tersebut dengan serius. Disayangkan, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan juz berikutnya, karena Kiai Sholeh Darat meninggal dunia. Faidhur Rohman menjadi kitab tafsir Alquran pertama yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Sejak mengenal Kiai Sholeh Darat, pandangan Kartini tentang dunia barat berubah. Dalam suratnya kepada R. M. Abendanon tertanggal 27 Oktober 1902, Kartini menulis:
[s]udah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik tiada tara. Maafkan kami. Apakah kami menganggap ibu masyarakat Eropa itu sempurna?, dapatkan ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak mejadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Kartini seakan menemukan jawaban atas pencariannya terhadap ajaran Islam. Menurut Kartini, kejahatan yang terjadi atas nama agama bukan penanda agama tersebut salah, tetapi merupakan perbuatan para pemeluk agama bersangkutan.
Dalam suratnya kepada nyonya Van Kol bertanggal 21 Juli 1902 dan R. M. Abendanon bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menyatakan untuk “berupaya memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah”, dengan menjadi “hamba Allah SWT.”
Pada akhirnya, eksistensi Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita pada masa penjajahan Belanda tidak lepas dari keingintahuan serta semangat untuk mendalami agama Islam yang tinggi. Ini berhasil mendorong jiwa Kartini menjadi sosok wanita bijaksana yang berhasil menggugat nilai-nilai feodalisme Jawa tanpa meninggalkan nilai-nilai religius yang telah mengakar sejak lama.
Referensi:
[1] Akhlanudin Uhamka. 2021. “Surat RA Kartini, Tafsir Qur’an Dan Sang Guru KH Sholeh Darat”. https://gema.uhamka.ac.id/2021/04/21/surat-ra-kartini-tafsir-quran-dan-sang-guru-kh-sholeh-darat/. Diakses pada 25 Agustus 2023.
[2] Herman J Haniah dan Retno Winarni Waluyo. 2018. “Representasi Nilai-nilai Al-Qur’an Dalam Novel Kartini Karya Abidah El Khalieqy” dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 4. Nomor 1.
[3] Lilis Muchoiyyaroh. 2019. “Rekonstruksi Pemikiran Kartini Tentang Keagamaan Untuk Memperkuat Integrasi Nasional” dalam Indonesian Historical Studies. Volume 3. Nomor 1.
[4] Manijo. 2013. “Menggali Pendidikan Karakter Anak Perspektif R. A. Kartini” dalam Thufala. Volume 1, Nomor 1.
[5] Nur Said. 2014. “Politik Etis Kepahlawanan RA Kartini: Menguak Spiritualisme Kartini yang Digelapkan” dalam Palastren. Volume 7. Nomor 2.
[6] Raden Ajeng Kartini. 2004. Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.