Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di hampir seluruh universitas negeri di Indonesia belakangan ini telah memicu gelombang protes dari para mahasiswa. Demonstrasi terjadi di berbagai tempat, dengan mahasiswa dari beragam latar belakang bersatu menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan yang dirasa memberatkan ini.
Terlebih lagi, pernyataan Sekretariat Kemendikbud, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier semakin menambah keresahan generasi muda yang tengah berjuang untuk memperoleh pendidikan tinggi yang terjangkau dan berkualitas.
Gelombang protes terbesar datang dari para mahasiswa baru (maba). Mereka menganggap kenaikan UKT tidak adil dan tidak transparan. Mereka, yang sebagian besar berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah hingga menengah, merasakan beban yang tidak manusiawi, yang tidak sebanding dengan pendapatan orangtua mereka.
Protes para mahasiswa terhadap kenaikan UKT mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap masa depan pendidikan Indonesia, yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan institusi terkait. Para mahasiswa menegaskan suara mereka bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara, yang dapat dijangkau tanpa adanya diskriminasi finansial.
Meski sejak beberapa hari yang lalu, kenaikan UKT batal dilaksanakan, pemerintah tidak memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa ia tidak akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ini menyebabkan isu kenaikan UKT masih akan menjadi bola panas pada kesempatan berikutnya.
Mengapa UKT Mengalami Kenaikan?
Uang kuliah tunggal (UKT) adalah kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi di Indonesia sejak tahun 2013, yang bertujuan untuk menyederhanakan struktur biaya pendidikan dengan menggabungkan beberapa komponen biaya menjadi satu pembayaran tiap semester. Kebijakan terkait UKT ditentukan oleh perguruan tinggi masing-masing.
Negara, yang meliberalisasi biaya pendidikan dan tak memberikan subsidi cenderung membuat biaya pendidikan tinggi tak terjangkau oleh sebagian besar warganya. Pada 2024, UKT di jenjang pendidikan tinggi mengalami kenaikan biaya yang sangat tajam. Seperti di Universitas Indonesia, yang menyederhanakan 11 kelompok UKT menjadi lima golongan, dengan Golongan Tiga UKT naik menjadi 7,5 juta hingga 12,5 juta Rupiah per semester. Institut Pertanian Bogor (IPB) menambah kelompok UKT menjadi 8 kelompok, dengan biaya UKT paling tinggi sebesar 25 juta per semester.
Penentuan kenaikan biaya pendidikan tinggi ditetapkan pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 2 Tahun 2024, yang memperkenalkan standar baru bagi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dengan berubahnya PTN menjadi PTN-BH, aturan baru yang ditetapkan Kemendikbudristek memisahkan kekayaan PTN-BH dari negara. Selain memberikan kewenangan bagi mereka membuka usaha untuk mendapatkan dana selain dari mahasiswa, mereka juga mendapat kesempatan untuk mengelola dana abadi dan aset dengan baik.
Kondisi ini memantik tendensi bahwa PTN-BH melepas pembiayaan dari pemerintah, yang semula hak dan kewajiban ditanggung oleh pemerintah, kini beralih ke PTN-BH. Artinya, PTN-BH merupakan subyek hukum yang berdiri sendiri. Maka, sangat wajar apabila PTN-BH menaikkan biaya UKT mahasiswa mengikuti laju inflasi akibat tingginya biaya operasional kampus.
Selain itu, kenaikan biaya UKT diklaim dapat meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengembangan program akademik, peningkatan mutu pengajaran, serta perbaikan sarana dan prasarana kampus. Dengan kenaikan ini, diharapkan keuangan institusi pendidikan tinggi menjadi stabil.
UKT yang Mencekik Masyarakat
Meski pendidikan lanjutan adalah impian banyak orang, bagi masyarakat dari kelas menengah ke bawah, impian tersebut tampak nyaris mustahil terwujud. Biaya UKT yang terus meningkat setiap tahunnya menjadi salah satu kendala utama bagi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tak dapat menempuh pendidikan tinggi, lapangan pekerjaan justru lebih berorientasi pada lulusan diploma dan sarjana. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah. Mereka sulit meningkatkan taraf hidup karena terbatasnya akses ke pendidikan tinggi, mempersempit kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan perguruan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini mencerminkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah hal yang sia-sia, karena banyak lulusan yang kesulitan menemukan pekerjaan yang layak dan tak sebanding dengan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan.
Selain itu, menurut Sumarno dkk. dalam artikel Dampak Biaya Kuliah tunggal terhadap Kualitas Layanan Pendidikan, kenaikan biaya UKT di berbagai universitas negeri menyebabkan penurunan jumlah pendaftar dari kelompok ekonomi bawah hingga menengah. Kenaikan biaya kuliah juga berpotensi memperburuk ketimpangan akses pendidikan, yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Kondisi ini juga dialami oleh mereka yang telah menjadi mahasiswa, yang merasakan biaya UKT menambah tekanan finansial mereka selama masa studi hingga kelulusan. Keadaan ini membuat banyak mahasiswa harus bekerja paruh waktu demi memenuhi kebutuhan kuliah dan kehidupan sehari-hari. Menurut Rohmah Istikomah dan Andik Setiawan dalam artikel Efek Bekerja Paruh Waktu terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa, menunjukkan bahwa mahasiswa yang bekerja sambil kuliah cenderung memiliki performa akademik lebih rendah dibandingkan mahasiswa yang tidak bekerja. Beban ganda antara studi dan pekerjaan pada akhirnya meningkatkan stress di kalangan mahasiswa.
Solusi Alternatif
Student loan atau pinjaman biaya pendidikan merupakan program yang direncanakan pemerintah untuk membantu keuangan mahasiswa membayar biaya UKT. Pinjaman ini bisa dicicil setelah mahasiswa lulus pendidikan.
Namun, program ini masih perlu pembahasan yang panjang. Bagaimana jika mahasiswa yang bersangkutan belum mendapatkan dana untuk membayar cicilan? Jangan sampai, student loan malah menjadi beban negara dan memperparah utang negara.
Sebagai solusi alternatif, mahasiswa perlu aktif mengikuti berbagai kegiatan yang bisa mendukung mereka secara akademik dan finansial. Kegiatan seperti magang atau internship yang dibayar setidak-tidaknya dapat membantu mereka. Dengan adanya program magang, diharapkan kompetensi akademik mahasiswa tidak menurun.
Selain itu, mahasiswa juga bisa mencari pendanaan lain, seperti mengikuti beasiswa yang disediakan pemerintah atau instansi swasta. Juga, calon mahasiswa baru bisa mencoba alternatif kuliah dengan mendaftarkan diri di perguruan tinggi kedinasan, dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh negara dan ikatan dinas.
Pada akhirnya, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang sangat berharga. Segala upaya yang dilakukan untuk mencapainya akan membuahkan hasil yang manis di masa depan. Mahasiswa harus tetap optimis dan proaktif dalam mencari solusi finansial menghadapi dunia perkuliahan. Juga, pemerintah dan institusi pendidikan perlu memikirkan langkah yang dapat mengatasi mahalnya biaya pendidikan tinggi, agar pendidikan di Indonesia tetap bisa dijangkau oleh seluruh kalangan.