Dapatkah Penuturan Makhluk Halus Menjadi Sumber Sejarah?

Di Indonesia, kita sering menyaksikan pengisahan sejarah suatu tempat dengan mengandalkan penuturan arwah atau makhluk halus. Biasanya, medium dibuat kerasukan, dan sosok yang merasuki medium akan bercerita kisah kehidupan mereka maupun tempat yang mereka diami. Meski beberapa kalangan melihatnya sebagai hal yang tak rasional, masyarakat Indonesia umumnya mempercayai kisah yang dituturkan sang makhluk halus.

Belakangan ini, media, baik media arus utama (mainstream) maupun media sosial, ramai-ramai menggunakan penuturan makhluk halus sebagai sumber sejarah. Di YouTube, misalkan, kita dapat menemukan banyak konten mengenai sejarah yang menggunakan sumber ini untuk membangun konten mereka.

Dapatkah sumber seperti ini digunakan untuk penulisan sejarah? Jan Vansina, dalam buku Oral Tradition as History, menjelaskan bahwa penuturan makhluh halus, sebagai  bagian dari hal-hal supranatural, merupakan tradisi lisan. Ia, bersama wangsit, bisikan gaib, dan kisah-kisah mengenai kesaktian, mewarnai historiografi tempatan (tradisional) di Indonesia.

Jan Vansina (1929-2017), sejarawan yang menjadi pakar kajian masyarakat Afrika dan pengembangan tradisi lisan dalam metodologi sejarah, courtesy of African Studies Program – University of Wisconsin

Menurut Vansina, tradisi lisan memiliki makna sebagai sebuah pesan sekelompok masyarakat yang dituturkan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Secara metodologi, penggunaan kisah-kisah supranatural, sebagai bagian dari tradisi lisan, masih mungkin dilakukan dalam penulisan sejarah, dengan beberapa catatan.

Catatan apa yang perlu dperhatikan? Sejarawan harus membandingkan tradisi lisan tersebut dengan realita yang ada. Ia perlu didampingi sumber lain, seperti babad atau serat yang merupakan sumber tertulis, maupun sumber foto dan video.

Beberapa sejarawan pernah menggunakan tradisi lisan dalam karya-karya mereka. Salah satunya, Peter Boomgaard, menjelaskan tentang rampog macan di Jawa dengan mengandalkan tradisi lisan yang terdapat di masyarakat. Dengan membandingkan tradisi lisan yang ia temukan dengan sumber-sumber lainnya, seperti catatan orang Eropa, Boomgard menemukan bahwa ada kesamaan dan perbedaan tentang rampog macan yang diselenggarakan di kawasan keraton.

Rampog macan (juga ditulis sebagai rampogan macan), tradisi di Jawa yang menggunakan harimau sebagai pemeran utamanya, courtesy of IDN Times

Tradisi lisan dapat menjadi sumber alternatif penulisan sejarah lokal. Ia dapat memberikan sebuah perspektif alternatif yang tak tertuang dalam sumber-sumber tertulis. Seperti contoh yang pernah saya lakukan di sebuah kota di Jawa Timur, tradisi lisan yang dipercayai masyarakat dibandingkan dengan temuan lain, seperti relief maupun prasasti.

Baca Juga  Apakah Ekstrakurikuler Pramuka Masih Diperlukan?

Menurut Dedi Irwanto, penerjemahan tradisi lisan dapat dilakukan dengan metode intertekstual. Metode ini digunakan untuk menerjemahkan tradisi lisan melalui perubahan makna kiasan dan metafora dari tradisi lisan tersebut.

Keberadaan kisah-kisah dari sosok tak kasat mata, sebagai bagian dari tradisi lisan, dapat memberikan warna dalam penulisan sejarah di Indonesia. Tinggal bagaimana sumber tersebut digunakan sejarawan dalam penelitian mereka, dan bagaimana sejarawan dapat mengajak masyarakat untuk tidak menelan mentah-mentah kisah yang ada.

Referensi
[1] Boomgaard, Peter. 1994. “Death to the Tiger! The Development of Tiger and Leopard Rituals in Java, 1605 – 1906” dalam South East Asia Research. Vol. 2. No. 2.
[2] Dedi Irwanto. 2012. “Kendala dan Alternatif Penggunaan Tradisi Lisan dalam Penulisan Sejarah Lokal di Sumatera Selatan”. Dalam Jurnal Forum Sosial. Vol. 4. No. 2.
[3] Vansina, Jan. 1961. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. Chicago: Aldine Publishing Company.
[4] Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *