Dibanding daerah-daerah lain di Jawa, wilayah Banten, boleh dikatakan, jarang muncul dalam peredaran sejarah. Padahal, wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara ini, memiliki posisi yang strategis, terletak di mulut Selat Sunda.
Kondisi yang dialami Banten tidak hanya terjadi dalam sejarah Indonesia kontemporer. Keterasingan Banten jauh bermula sejak era kolonial, tepatnya sesudah Kesultanan Banten meredup dan hancur sama sekali pada permulaan abad ke-19.
Menikmati era kejayaan pada abad ke-16, dengan perdagangan lada dan hasil bumi lainnya, wilayah Banten menikmati kehormatan sebagai representasi kekuatan Islam di ujung barat pulau Jawa.. Disayangkan, era kejayaan tersebut perlahan-lahan surut, ketika pengaruh Barat merembes masuk, yang dimulai dari campur tangan VOC atas pemerintahan Kesultanan Banten.
Surutnya kekuasaan wilayah Banten mencapai titik nadir ketika pemerintahan Gubernur Jenderal H. W. Daendels membubarkan Kesultanan akibat pembangkangan sultan yang menolak pengerahan rakyat untuk kerja rodi. Sejak saat itu, Banten tak lebih dari sebuah karesidenan terbelakang yang tak berarti.
Meski demikian, wilayah ini sama sekali tidak kehilangan gambarannya sebagai pusat kekuatan Islam di Jawa. Melalui buku berjudul Arit dan Bulan Sabit, Michael C. Williams menyajikan saat-saat ketika daerah yang juga dikenal sebagai Tanah Jawara ini muncul kembali ke panggung perpolitikan negeri.
Namun, kemunculan Banten dalam sejarah Indonesia tampil dengan corak yang nyaris sama sekali berbeda. Dikenal dengan predikat sebagai daerah dengan basis keislaman yang mengakar kuat, justru pada 1926 dan 1927, wilayah ini menjadi daerah pemberontakan PKI paling dahysat melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Mengawali studinya tentang topik ini, Williams menganalisis kondisi sosial-ekonomi masyarakat Banten sebelum pemberontakan PKI meletus. Meunrut Williams, jumlah penduduk yang tidak banyak, tidak adanya industri berskala besar, dan kepemimpinan riil di tangan kaum ulama, menjadi corak masyarakat Banten. Meski secara de jure Banten berada di bawah langsung pemerintahan kolonial, kaum ulama yang lebih didengar dan ditaati segenap rakyat Banten secara de jure.
Masuknya ideologi komunis ke Banten dapat ditelusuri, ketika dua orang pimpinan eksekutif ISDV, sebagai cikal-bakal organisasi komunis di Hindia, menetap di Banten. Selain itu, Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) sudah membuka cabang di daerah Labuan, Pandeglang. Bahkan, ketika PKI baru diproklamasikan pendiriannya, tokoh-tokoh PKI sering mengadakan rapat-rapat akbar dan menyampaikan orasinya di hadapan rakyat Banten.
Meski dilabeli sebagai daerah basis Islam, rakyat Banten, juga sebagian besar ulama di wilayah tersebut, berhasil terbius dengan propaganda-propaganda komunis. Menurut Williams, kemampuan adaptasi PKI, dengan tidak menolak tradisi Islam di Banten, disamping terus mencari persamaan ideologi komunis dengan Islam, menjadi faktor penentu pesatnya perkembangan PKI di Banten.
Adanya pandangan akan musuh bersama, yang terjelma dalam kolonialisme dan imperialisme Belanda, menjadikan dua komponen yang terlihat berseberagan tersebut bersatu membentuk koalisi yang kuat. Ditambah dengan berbagai janji akan lepasnya beban berat penghidupan sebagai dampak dari pemerintahan kafir Belanda, semakin membuat rakyat Banten percaya kepada kelompok komunis. Alhasil, pada tahun 1925, PKI mengumumkan pendirian cabangnya di Banten sebagai seksi ke-37, dengan Puradisastra sebagai ketuanya.
Konferensi Prambanan PKI pada akhir tahun 1925, yang melahirkan keputusan untuk melancarkan pemberontakan besar-besaran di seluruh Hindia Belanda, sampai ke wilayah Banten. Meski keputusan tersebut sudah ditolak oleh tokoh-tokoh utama PKI, penolakan itu hanya dianggap angin lalu.
Untuk kesekian kalinya dalam sejarah, Banten kembali menampakkan gairahnya untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. Sepanjang permulaan hingga pertengahan 1926 aktivitas, PKI Banten mulai meningkat. Ini ditandai dengan penyusunan rencana, memobilisasi massa, dan menyiapkan persenjataan yang diselundupkan dari luar negeri.
Pada periode ini, kaum ulama, dibantu para jawara, menunjukkan pengaruh dan kewibawaannya di hadapan rakyat Banten. Rakyat, yang tidak tahu-menahu soal ideologi komunisme, terjerat ke dalam arus pemberontakan. Mereka mengikuti perintah guru-guru agamanya, yang mengajak untuk berperang melawan kafir Belanda.
Di seluruh pedesaan Banten, para petani melakukan puasa dan menyiapkan kain putih sebagai persiapan pemberontakan. Disamping mengikuti guru agama, dan keinginan melepaskan beban berat pajak, rakyat Banten juga dijanjikan akan pemulihan Kesultanan Banten sebagai prestise masa lampau.
Disayangkan, pemerintah kolonial rupa-rupanya sudah mencium terlebih dulu rencana pemberontakan tersebut. Sepanjang Agustus hingga September 1926, terjadi penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh sentral PKI Banten, membuat rencana aksi dan kelanjutan dari pemberontakan yang akan dilaksanakan menjadi berantakan. Praktis, kepemimpinan pemberontakan kini ada di tangan ulama.
Karena massa sudah telanjur disiapkan untuk memberontak, maka pilihan membatalkan pemberontakan bukanlah pilihan yang tepat. Begitu pandangan KH. Ahmad Chatib, selaku pimpinan utama pemberontakan. Maka, pemberontakan yang sebetulnya tidak matang tersebut, meletus juga pada November 1926.
Banten kembali terbakar dalam api pemberontakan. Para petani bahu-membahu dengan golongan lain membasmi pihak-pihak yang dipandang kaki-tangan kafir Belanda. Pemberontakan luas pun terjadi, yang diikuti dengan pukulan balik yang mematikan dari pemerintah kolonial.
Pasukan berjumlah 100 prajurit dibawah komando Kapten Becking bergerak dari Batavia untuk memukul mundur para pemberontak, menegakkan kembali orde en rust di wilayah Karesidenan Banten. Dengan cepat, tokoh-tokoh dan massa pemberontak berhasil dilumpuhkan. Sebagian besar dari mereka yang tertangkap harus merasakan pengasingan di Boven Digul.
Sekali lagi, setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, Banten kembali tenggelam dalam kesenyapan dan kesunyian dalam historiografi Indonesia.
Referensi
[1] Bonnie Triyana. (2017). “Satu Perahu Dua Haluan”. Historia. https://historia.id/politik/articles/satu-perahu-dua-haluan-DAlNb/page/1, diakses 13 Maret 2024.
[2] Hendri F. Isnaeni. (2018). “Pemberotakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten”. Historia. https://historia.id/politik/articles/pemberontakan-untuk-memulihkan-kesultanan-banten-DBKlV, diakses 13 Maret 2024.
[3] M. C. Ricklefs. (1999). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press. [4] Michael C. Williams. (2003). Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.