Gig Economy dan Kemunculan Kelompok Precariat di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan transformasi besar dalam struktur pekerjaan, khususnya dengan munculnya gig economy. Istilah ini merujuk pada lingkungan pekerjaan yang ditandai dengan hubungan kerja yang bersifat sementara atau kontrak, dengan pekerja bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek atau tugas tertentu.

Dalam skema gig economy, pekerja memiliki fleksibilitas untuk memilih kapan dan di mana mereka bekerja. Ini menciptakan daya tarik bagi banyak orang yang ingin memiliki kebebasan lebih dalam mengatur waktu mereka, terutama bagi generasi milenial dan gen Z yang cenderung menginginkan otonomi lebih dalam hidup mereka.

Di Indonesia, gig economy mengalami pertumbuhan pesat, seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan penetrasi internet yang semakin luas. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet pada tahun 2024, Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar untuk platform-platform digital yang menyediakan layanan gig economy.

Ilustrasi gig economy, courtesy of BINUS communication

Gojek dan Grab, misalnya, telah menciptakan ekosistem pekerjaan yang melibatkan jutaan pengemudi, pengantar makanan, dan pekerja lainnya yang bergantung pada aplikasi untuk mendapatkan penghasilan. Selain mereka, platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee juga membuka peluang bagi banyak orang untuk menjadi penjual online atau menjalankan usaha kecil-kecilan dari rumah.

Bagi banyak orang, gig economy bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Oleh karena itu, gig economy di Indonesia seringkali lebih merefleksikan kondisi darurat ketimbang pilihan bebas yang sepenuhnya diinginkan oleh para pekerja.

Meskipun gig economy menawarkan kebebasan dan fleksibilitas yang menarik bagi banyak orang, terutama bagi generasi milenial dan gen Z, fenomena ini juga memunculkan berbagai tantangan serius. Salah satunya adalah pembentukan kelompok pekerja yang sering disebut sebagai precariat, sebuah kelas pekerja yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tanpa jaminan pekerjaan atau perlindungan sosial yang memadai.

Baca Juga  Mengapa Masyarakat Indonesia Alergi terhadap Filsafat?

Mengutip artikel Mitos Kemitraan dan Konstruksi Normalitas Kerja Gig: Kajian Operasi Kekuasaan Hegemonik oleh Dzaky Yusuf Muhammad, Rima Anhar Roospita, dan Naomy Ayu Nugraheni, lebih dari 70% pekerja gig di Indonesia merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan cukup stabilitas dan keamanan. Banyak dari mereka yang hidup dari hari ke hari, tanpa tahu berapa banyak yang akan mereka hasilkan pada minggu atau bulan berikutnya. Hal ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup mereka, tetapi juga menciptakan ketidakpastian yang signifikan dalam perencanaan masa depan, seperti pernikahan, pendidikan anak, atau kepemilikan rumah.

Pengemudi ojek daring (online), salah satu kegiatan gig economy yang populer di Indonesia, courtesy of The Jakarta Post

Ketidakpastian ekonomi yang dihadapi oleh pekerja gig economy juga memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental. Bekerja dalam kondisi yang tidak stabil, tanpa jaminan pendapatan tetap, dan tanpa perlindungan sosial yang memadai, menyebabkan stres kronis, kecemasan, dan bahkan depresi. Berdasarkan survei yang diterbitkan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), terjadi peningkatan signifikan terkait kasus gangguan mental di kalangan generasi milenial dan gen Z.

Kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian membuat banyak pekerja mengalami tekanan mental yang besar. Mereka harus terus-menerus mencari pekerjaan baru, beradaptasi dengan lingkungan kerja yang berbeda-beda, dan menghadapi ketidakpastian pendapatan yang membuat mereka sulit untuk merencanakan masa depan.

Ilustrasi kelompok precariat, kelas baru yang terdiri dari pekerja yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, courtesy of Friends of Europe

Fenomena precariat di Indonesia memang merupakan tantangan yang kompleks dan multidimensi. Dalam konteks gig economy, pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan dan sistem yang lebih terstuktur. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengatur dan melindungi pekerja gig tanpa menghilangkan fleksibilitas yang menjadi salah satu daya tarik utama dari pekerjaan ini.

Pertama, Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang memberikan perlindungan sosial kepada pekerja di gig economy. Ini bisa mencakup asuransi kesehatan wajib, jaminan pensiun, dan hak-hak dasar lainnya yang saat ini tidak tersedia bagi banyak pekerja gig.

Baca Juga  Filsafat, Sebuah Ilmu yang Tidak Berguna?

Kedua, perlu ada upaya untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan bagi para pekerja gig, sehingga mereka memiliki peluang yang lebih baik untuk meningkatkan status ekonomi mereka dan menghindari ketergantungan pada pekerjaan sementara.

Ketiga, sektor swasta, termasuk platform-platform digital yang memfasilitasi gig economy, harus lebih bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan pekerja mereka. Ini bisa dilakukan dengan memberikan akses terhadap perlindungan sosial, peluang peningkatan keterampilan, dan kondisi kerja yang lebih manusiawi.

Keberadaan gig economy seharusnya memberikan kemudahan bagi para pekerja Indonesia untuk bekerja sembari mempertahankan otonomi mereka. Disayangkan, realita yang terjadi yang diciptakan gig economy di negeri ini justru menciptakan generasi precariat, yang tidak memiliki kestabilan ekonomi. Pemerintah perlu segera mengambil tindakan, untuk mencegah Indonesia jatuh dalam ketidakstabilan, baik secara ekonomi maupun dalam hal lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *