Pada 23 Juli 2001, kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, atau biasa dikenal sebagai Gus Dur, resmi lengser, dan kursi kepresidenan diteruskan kepada wakilnya, Megawati Soekarnoputri. Proses lengsernya Gus Dur tidak lepas dari berbagai implikasi politik yang sangat rumit dan panas paskagelombang Reformasi pada 1998. Harapan besar masyarakat terhadap demokratisasi, setelah 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto, menjadikan tugas pemerintah semakin berat dalam memenuhi ekspetasi masyarakat tersebut.
Proses Gus Dur menjadi presiden tidak lepas karena dukungan beberapa koalisi, khususnya kelompok “Poros Tengah” yang diinisiasi oleh Amien Rais yang terdiri dari mayoritas partai bercorak Islam.[1] Sokongan yang diberikan oleh “Poros Tengah” menyebabkan kepemimpinan Gus Dur, pada awal menjabat, bersifat sangat kompromistis. Jumlah menteri yang direncanakan, sebagai contoh praktek kompromi ini, yang semula hanya maksimum 25 orang, membengkak menjadi 34 orang.
Pada 24 April 2000, Gus Dur melakukan reshuffle terhadap dua menterinya, Laksamana Sukardi sebagai Menteri BUMN dari PDIP dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dari Partai Golkar. Hal tersebut menjadi awal mula kekuasaan Gus Dur mulai diperlemah. Beberapa minggu kemudian, muncul dua skandal yang memojokkan Gus Dur, yakni Buloggate dan Bruneigate. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menginvestigasi dugaan skandal tersebut.
Manuver tajam dimulai pada 1 Februari 2001, dengan diadakannya rapat paripurna DPR yang menghasilkan Memorandum I kepada Gus Dur. Isi dari memorandum tersebut adalah sebuah peringatan, bahwa Gus Dur dianggap melanggar Haluan Negara. Jika dalam waktu tiga bulan tidak memenuhi Memorandum, DPR akan menyampaikan Memorandum II, dan apabila masih tak diindahkan, DPR akan meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa. Gus Dur tak mengindahkan Memorandum I dan II, ia malah mempertanyakan legalitas dari Pansus.[2]
Karena sikap Gus Dur, yang dapat dikatakan konfrontatif, maka sidang istimewa (SI) diputuskan akan dilaksanakan. Jarak waktu yang seharusnya tiga bulan setelah Memorandum II dikeluarkan atau paling tidak dilaksanakan pada 1 Agustus 2001 dimajukan menjadi 23 Juli 2001. Dipercepatnya SI MPR menjadi kontroversi, karena hal ini dapat dikatakan rancu dan menimbulkan benturan yuridis antaraturan.[3] Namun, SI tetap dilaksanakan pada jadwal yang telah ditentukan.
Perlawanan terakhir Gus Dur menghadapi “serangan” DPR dan MPR ialah mengeluarkan Maklumat Presiden 23 Juli 2001, yang berisikan perintah untuk membekukan DPR, MPR, dan Golkar, serta mempercepat pelaksanaan pemilu. Hal tersebut membuat Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar saat itu, dan DPR mengirim surat ke MA, menyatakan tidak setuju terhadap maklumat tersebut. MA memutuskan bahwa maklumat inkonstitusional. Praktis, kekuasaan Gus Dur sudah kalah. Ia dimakzulkan oleh Parlemen melalui SI MPR serta TAP MPR No. II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Gus Dur dan mencabut TAP MPR No. VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia.[4]
Pemakzulan Gus Dur memantik reaksi dari berbagai kalangan. Mahfud MD mengatakan bahwa pemakzulan Gus Dur tidak sah dan melanggar konstitusi. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa MPR melanggar TAP MPR Nomor 3/1978, bahwa semua keputusan MPR, khususnya tentang pelengseran presiden, harus dihadiri oleh seluruh fraksi. Kenyataan yang terjadi, SI tersebut tidak dihadiri oleh fraksi PDKS dan PKB.[5] Reaksi lain muncul dari putri Gus Dur, Yenny Wahid. Ia mengatakan bahwa pemakzulan tersebut tidak sesuai konstitusi dan didukung oleh elemen-elemen tertentu, termasuk TNI.[6]
Lalu, apakah ini termasuk kudeta atau murni keputusan hukum? Pertanyaan ini dapat kita telusuri dari keterangan Edward Luttwak melalui buku “Kudeta: Teori dan Praktik Penggulingan Kekuasaan”. Ia mengatakan bahwa kudeta membutuhkan bantuan intervensi massa ataupun kekuatan bersenjata yang besar. Ada beberapa prasyarat yang mendorong kudeta dapat terjadi, yaitu:
- krisis ekonomi yang panjang dan diikuti maraknya pengangguran;
- perang dan kekalahan militer/diplomatik;
- instabilitas kronis di bawah sistem multipartai.[7]
Kudeta pun menekankan pentingnya kecepatan serta penetrasi dari berbagai kelompok militer, partai politik, organisasi keagamaan, atau bahkan hingga organisasi kampus macam BEM.
Apabila merujuk pada penjelasan Edward Luttwak diatas, beberapa prasyarat dalam proses pemakzulan Gus Dur terpenuhi, dan pemakzulan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kudeta. Mengenai intervensi massa dan kekuatan bersenjata dapat dilihat dari isi “Skenario Semut Merah”, yang merupakan plot mengenai langkah untuk melengserkan Gus Dur yang ditulis Fuad Bawazier dan ditujukkan kepada Akbar Tandjung.
Mengenai hal yang berkaitan dengan instabilitas politik karena sistem multipartai, dapat dikatakan menjadi faktor utama Gus Dur harus terlempar dari kursi kepresidenan. Selain itu, ketidakstabilan pemerintahan Gus Dur disebabkan oleh sikapnya yang seringkali mengambil keputusan sendiri. Ditambah lagi, komunikasi Gus Dur yang kurang bijak karena seringkali menggunakan dagelan, membuat Gus Dur yang seharusnya bersikap bijak dan tegas dalam melihat persoalan malah memberikan keterangan yang sifatnya “lelucon”.[8] Sehingga, seringkali ucapan dan pernyataannya berakhir dipolitisasi oleh lawan politiknya.
Kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa proses pemakzulan Gus Dur merupakan upaya kudeta yang dilakukan oleh berbagai kelompok. Permasalahan hukum dalam proses pemakzulan pun tidak jelas, dan bahkan terdapat benturan yuridis. Alih-alih menekankan supremasi hukum melalui prosedur yang konstitusional, tindakan parlemen lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dalam upaya untuk melucuti kekuasaan Gus Dur selaku presiden.
*Tulisan pernah diterbitkan dalam halaman Facebook “Bikini Bottom Studieclub” pada 16 Juli 2021. Diterbitkan kembali dengan sedikit penyesuaian.