Tanggal 28 Oktober 1928, merupakan hari penting dalam sejarah Indonesia. Pada hari itu, para pemuda dari berbagai daerah mengadakan Kongres Pemuda II di Batavia.
Mereka mengikrarkan sebuah janji, janji yang menjadi pusaka bagi bangsa Indonesia. Mereka berjanji untuk menjadikan Indonesia sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Janji tersebut, kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Sumpah Pemuda.
Pada 2024 ini, peristiwa Sumpah Pemuda telah berlalu selama 96 tahun. Ia masih tetap diperingati oleh sebagian besar pemuda Indonesia.
Namun, sama seperti hari besar nasional lain, peringatan Hari Sumpah Pemuda cenderung jatuh sebagai perayaan seremonial belaka. Ia tidak dibarengi dengan sikap reflektif dan penghayatan terhadap tiga butir sumpah pemuda, simbol persatuan.
Isu intoleransi dan rasisme, sebagai musuh persatuan, masih menjadi ancaman serius di tengah masyarakat Indonesia. Dalam diri para pemuda Indonesia, perilaku intoleran dan rasis sering ditemukan melalui berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, hingga TikTok. Sebagian dari mereka memanfaatkan anonimitas di media sosial, melontarkan ujaran kebencian kepada sesama.
Contoh nyata dari perilaku intoleran dan rasisme ini adalah kemunculan istilah jawir. Secara etimologis, istilah jawir merupakan singkatan dari Jawa ireng atau “Jawa hitam.” Kata ini merujuk pada seseorang yang berasal dari suku Jawa dan memiliki warna kulit hitam. Di media sosial TikTok, meski kata wir atau jawir dipandang sebagai istilah gaul yang memiliki nilai canda, ia merupakan perwujudan rasisme.
Selain istilah jawir, terdapat juga pelabelan lain terhadap suku Jawa, seperti jamet kuproy alias Jawa Metal Kuli Proyek. Sebutan jamet mengarah kepada dandanan orang Jawa yang sering dianggap norak dan ketinggalan zaman. Sementara kurproy merujuk kepada stigma orang Jawa yang dianggap bekerja sebagai tenaga kasar, dalam hal ini sebagai seorang kuli.
Sama seperti jawir, istilah ini dianggap sebagai istilah gaul semata. Namun, di baliknya, ia mengandung pernyataan intoleransi terhadap masyarakat Jawa.
Tidak hanya orang Jawa yang sering menerima perlakuan rasis dan intoleran. Suku-suku lain di Indonesia, seperti Sunda, Batak, Minangkabau, dan lainnya, juga mengalami hal serupa. Kita dapat menemukan pernyataan rasis dan intoleran tersebut dengan mudah melalui media sosial, dalam wujud candaan warganet dan konten-konten lainnya.
Selain intoleran terhadap suku dan warna kulit, sebagian besar pemuda Indonesia juga intoleran terhadap perbedaan pandangan politik. Mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia, dinyatakan bahwa para pemuda Indonesia cenderung lebih intoleran pada sisi politik ketimbang pada sisi sosial keagamaan. Ini ditunjukkan dengan presentase 38,6 persen anak muda Indonesia yang masih keberatan jika seorang nonmuslim menjadi presiden negeri ini.
Dalam hemat saya, sikap intoleransi seperti ini, baik secara etnisitas maupun politik, tak sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda menekankan persatuan seluruh pemuda Indonesia secara revolusioner. Terlepas dari perbedaan yang dimiliki, baik secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya, seluruh pemuda Indonesia diwajibkan untuk selalu teguh bersatu.
Sumpah Pemuda seharusnya dipahami sebagai perekat persatuan. Namun, jika Sumpah Pemuda masih belum mampu menyatukan pemuda Indonesia yang saling berselisih dan intoleran terhadap sesama pemuda, kepada siapa kita harus bergantung? Pilihan yang tersisa saat ini, terutama bagi pemerintah, adalah memaknai kembali perayaan Sumpah Pemuda, agar menjadi lebih efektif sebagai elemen pendukung persatuan para pemuda bangsa ini.