Peristiwa 30 September 1965 (G30S) menyisakan teka-teki hingga saat ini. Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan seorang perwira dan dimasukkan ke Lubang Buaya dituding sebagai aksi kejam PKI. Mereka dituding sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Meski begitu, banyak pihak menganggap bahwa PKI hanyalah korban kambing hitam propaganda Orde Baru. Mereka percaya PKI ikut terjebak dalam arus 1965 yang penuh gejolak.
Menjelang 30 September setiap tahun, dipenuh dengan riuh perdebatan mengenai siapa dalang G30S. Seakan-akan, ini menjadi tradisi tahunan, menjadi debat kusir tak berkesudahan.
Andaikan PKI memang tidak terlibat, apakah masyarakat akan menerima fakta tersebut? Apakah pandangan masyarakat terhadap PKI akan berubah? Mungkin kecil kemungkinannya, mengingat kebencian masyarakat terhadap segala hal yang berbau komunisme sudah mengakar begitu dalam dan tidak bisa dicabut begitu saja.
Kebencian masyarakat terhadap PKI bukan semata-mata karena doktrin Orde Baru. Kebencian itu juga timbul akibat ketidakmanusiawian kelompok kiri yang sejak 1926 banyak menumpahkan darah, sebagaimana dipotret dalam buku Banjir Darah yang ditulis Anab Afifi dan Thowaf Zuharon, yang diambil berdasarkan kesaksian keluarga korban kekejaman PKI.
Kalaupun PKI adalah korban kambing hitam, maka masyarakat mungkin akan menilai itu sebagai hukum tabur tuai. Sejauh ini, selain PKI, ada beberapa teori mengenai dalang G30S, mulai dari Soekarno, Soeharto hingga CIA. Dari daftar dalang tersebut, agaknya PKI dan Soeharto adalah tersangka kuat.
Motif PKI, tentu saja, melakukan kudeta untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi ideologi Komunis, sebagaimana yang pernah dicoba Musso pada 1948. Tidak menutup kemungkinan Aidit juga bercita-cita demikian.
Sementara Soeharto, dituding sebagai dalang G30S karena banyak pihak mencurigai hanya diinya yang lolos saat para jenderal diculik dan dibunuh. Meski demikian, Soeharto berdalìh bahwa pada malam insiden tersebut, ia tengah menemani anaknya, Tommy, yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Hal itu membuat para penculik berpikir dua kali untuk menculik Soeharto.
Sebagaimana dalam fakta, Soekarno menggadang-gadang Ahmad Yani untuk menggantikannya sebagai presiden kedua. Namun, dengan terbunuhnya Yani, peluang Soeharto pun kian besar untuk menjadi presiden. Beberapa pihak mencurigai bahwa hal ini juga sudah direncanakan Soeharto.
Kemudian, untuk menutupi kecurigaan publik, Soeharto melakukan playing victim dengan memanfaatkan kebencian masyarakat terhadap PKI, dengan menuduh mereka sebagai dalang G30S. Saya sendiri tidak bisa mengamini pandangan ini, sebab semuanya masih serba spekulatif. Selama tak ada bukti, sejarah G30S akan tetap diselimuti kabut abu-abu.
Jadi, apakah terungkapnya dalang G30S adalah hal yang mungkin? Kecil, menurut hemat saya. Dalam beberapa tahun mendatang, mungkin saksi peristiwa G30S sudah tesisih karena usia tua maupun telah meninggal. Ini membuat pengungkapan dalang G30S semakin sulit.
Namun, saya tetap optimis, suatu hari nanti kepingan sejarah G30S akan menjadi rangkaian utuh. Kalaupun teka-teki pelaku G30S tidak terungkap selamanya, maka biarlah. Cukup dikenang sebagai sebuah sejarah kelam bangsa kita, dan berharap insiden itu tak akan pernah terulang lagi. Mengutip Santayana, “mereka yang tidak belajar dari sejarah, dikutuk untuk mengulanginya.”