Dwifungsi Militer dalam Urusan Sipil: Sebuah Kebangkitan Kembali?

Dwifungsi ABRI Pangkogabwilhan I saat memimpin geladi Apel Kesiapan Satuan Tugas TNI-Polri Pam VVIP Pelantikan Presiden Indonesia 2024, courtesy of situs resmi TNI

Isu tentang peran militer dalam pemerintahan kembali menjadi sorotan, setelah DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 lalu.

Salah satu poin yang mendapat perhatian masyarakat luas adalah perluasan kewenangan bagi perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil, yang sebelumnya dibatasi pada 10 posisi, kini bertambah menjadi 14. Mengutip pemberitaan detikcom, empat posisi tambahan tersebut meliputi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan RI (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).

Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil. Mengutip pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil melalui Kompas.com, ia membuka peluang keterlibatan militer dalam urusan sipil, sesuatu yang dulu menjadi ciri khas Orde Baru.

Ketua DPR Puan Maharani saat mengesahkan RUU TNI menjadi Undang-Undang, courtesy of CNN Indonesia

Mengutip Genoveva Ambar Wulan, seorang sejarawan militer, Indonesia memiliki pengalaman historis terkait peran militer dalam urusan sipil. Pada masa Orde Baru, hal tersebut, yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI, membuat mereka tidak hanya berperan dalam pertahanan negara, tetapi juga turut campur dalam politik dan birokrasi. Ini menyebabkan kekuasaan yang terpusat, dan mengarah pada sistem pemerintahan yang otoriter.

Namun, ada pula yang berpandangan bahwa kebijakan pemerintah tidak serta-merta mengembalikan dominasi militer dalam pemerintahan. Menurut anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini, jika ada perwira TNI aktif yang ingin menjabat di luar 14 posisi yang telah ditentukan, mereka wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu dari dinas militer.

Apakah ini menjadi awal kebangkitan kembali dwifungsi era Orde Baru, ketika militer campur tangan dalam urusan sipil?

Berawal dari Pidato Nasution

Konsep dwifungsi ABRI pertama kali dikenalkan oleh Jenderal A. H. Nasution, dalam pidatonya di Akademi Militer Nasional pada 1958. Gagasan ini bertolak dari konsep jalan tengah, yang menjadikan militer sebagai aktor politik dan sosial, tidak hanya berperan dalam pertahanan.

Baca Juga  Antiperpustakaan dan Masa Depan Pembaca Buku

Menurut Sofuan (2023), konsep ini semakin diperkuat pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno, sebagai respons terhadap ketidakstabilan politik akibat konflik antarpartai. Soekarno melihat militer sebagai kekuatan penyeimbang bagi politikus sipil, yang dianggap gagal dalam membangun kesepakatan nasional. Keputusan ini diambil setelah kegagalan Konstituante dalam merumuskan dasar negara yang stabil.

Abdul Haris Nasution (1918-2000), pencetus awal gagasan dwifungsi di tubuh ketentaraan Indonesia, courtesy of Kilat

Akibatnya, militer diberikan peran lebih luas, termasuk dalam pemerintahan dan perekonomian sosial. Ini kemudian menjadi pondasi bagi konsep dwifungsi ABRI.

Selain itu, menurut Azwar & Suryana (2021), keterlibatan militer juga dipengaruhi oleh pengalaman revolusi fisik 1945-1949, ketika tentara melihat dirinya tidak hanya sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga sebagai penjaga stabilitas nasional. Pengaruh ini berlanjut hingga era Orde Baru, ketika Dwifungsi ABRI dikukuhkan secara resmi.

Dwifungsi Menjadi Legal

Pada masa Orde Baru, dwifungsi dilegalkan. Ini memungkinkan militer terlibat aktif dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Sebelumnya, ABRI bertanggung jawab atas keamanan nasional. Tetapi, di bawah Soeharto, peran mereka diperluas ke dalam pemerintahan dan parlemen.

Menurut Anwar (2018), salah satu bentuk nyata dwifungsi adalah masuknya militer ke dalam fraksi di DPR. Ini memberikan kursi bagi para perwira aktif tanpa melalui pemilihan umum.

Presiden Soeharto (1921-2008) berpakaian militer, bersama sejumlah anggota ABRI, courtesy of GusDur.Net

Tidak hanya itu, perwira aktif juga menduduki beberapa jabatan sipil, seperti kepala daerah, menteri, hingga posisi strategis di berbagai perusahaan BUMN. Mereka memimpin berbagai perusahaan negara di sektor energi, perkebunan, dan industri strategis.

Dominasi militer dalam sektor ekonomi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Namun, hal ini juga menciptakan ketergantungan militer dalam banyak aspek kehidupan bernegara.

Meskipun dwifungsi diklaim sebagai upaya untuk memperkuat stabilitas nasional, banyak pihak menilai konsep ini justru menghambat demokrasi dan menciptakan pemerintahan yang otoriter. Selain itu, sistem peradilan yang memisahkan pengadilan militer dari pengadilan sipil menyebabkan ketidakadilan dalam hukum, karena anggota militer tidak dapat diadili di pengadilan umum. Akibatnya, ABRI menjadi kekuatan dominan yang sulit dikontrol oleh sipil.

Dwifungsi Era Reformasi: Penghapusan Setengah Hati

Reformasi pada 1998 menandai titik balik peran militer dalam politik Indonesia. Masyarakat menuntut demokratisasi, yang akhirnya mendorong dikeluarkannya Undang-Undang TNI tahun 2004. UU ini secara resmi menghapus dwifungsi dan mengembalikan militer ke fungsinya semula, sebagai lembaga pertahanan.

Baca Juga  Kebangkitan Orde Baru? Wong Kita Masih dalam Zaman Orba, Kok!

Meski telah ada regulasi yang membatasi peran militer dalam sektor sipil, upaya untuk mengembalikan peran militer terus terjadi. Beberapa perwira tinggi tetap menempati posisi strategis dalam pemerintahan, baik sebagai menteri maupun kepala lembaga negara.

Menurut Marcus Mietzner dalam The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia (2006), reformasi militer menghadapi tantangan besar akibat resistensi internal dan fragmentasi elite politik sipil. Meskipun militer secara formal telah ditarik dari politik, sistem komando teritorial tetap dipertahankan, memberikan peluang bagi mereka untuk terus berpengaruh di tingkat daerah. Selain itu, pendanaan militer yang masih bergantung pada sumber di luar anggaran negara juga memperumit proses reformasi total.

Demonstrasi penolakan dwifungsi ABRI yang dilakukan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), courtesy of Kompaspedia/Johnny TG

Era pemerintahan setelah Reformasi juga menunjukkan pola fluktuatif dalam (2004-2014), beberapa langkah reformasi diberlakukan. Tetapi, ia tidak menyentuh aspek mendasar, seperti penghapusan struktur komando teritorial.

Sementara itu, di bawah pemerintahan Joko Widodo (2014-2024), muncul kembali perdebatan tentang peran TNI di ranah sipil, utamanya dengan adanya penempatan perwira aktif dalam jabatan-jabatan strategis. Ini membuat pemisahan peran militer dalam urusan sipil menjadi semakin rumit.

Bukan Sebuah Kebangkitan Kembali

Meski UU TNI tahun 2004 telah resmi menghapus dwifungsi, keterlibatan militer dalam ranah sipil tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih tersamar. Sistem Komando Teritorial (Koter) masih beroperasi dari tingkat Kodam hingga Babinsa, memungkinkan TNI Tetap berperan dalam urusan sipil dan keamanan.

Selain itu, pengaruh purnawirawan militer dalam politik masih kuat. Jabatan gubernur di beberapa daerah, seperti Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sering diisi oleh mantan perwira militer. Mengutip pernyataan Al Araf, peneliti senior Imparsial, sekitar 2.500 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, menimbulkan kekhawatiran terhadap meritokrasi dan supremasi sipil.

Baca Juga  Apakah Perjalanan Waktu dapat Memastikan Kebenaran Sejarah?

Beberapa kasus terbaru memperkuat indikasi ini. Sebagai contoh, Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya diangkat sebagai Direktur Utama Perum Bulog, dan Laksamana TNI Muhammad Ali ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT PAL Indonesia, meski ia masih aktif berdinas.

Kondisi-kondisi tersebut, utamanya setelah melihat perjalanan dwifungsi dari awal hingga saat ini, menegaskan bahwa ia tidak tepat untuk disebut bangkit kembali. Kata tersebut tepat digunakan jika dwifungsi sudah benar-benar hilang dalam kehidupan militer Indonesia. Namun, kenyataan Reformasi menegaskan bahwa dwifungsi masih tetap eksis secara samar.

Apa yang terjadi hari ini, yakni penetapan RUU TNI menjadi UU, adalah indikasi bahwa dwifungsi mendapatkan tempatnya kembali. Militer dapat lebih leluasa, dan lebih terang, untuk menduduki posisi-posisi sipil. Mereka tidak lagi harus samar-samar menerapkan dwifungsi; semuanya dapat dilakukan dengan lebih terbuka dan lebih leluasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *