Pada November 2023 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Pejabat (Pj) Bupati Sorong, Yan Piet Moso, atas dugaan kongkalikong audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) wilayah Propinsi Papua Barat Daya. Melansir pemberitaan Kompas.com, selain Yan Piet, kasus ini juga menyeret empat pejabat lainnya, mulai dari pengawas BPK, sampai anggota DPRD.
Kasus yang menimpa Yan Piet Moso menjadi satu dari berbagai fenomena kongkalikong pejabat di Indonesia. Fenomena ini sudah menjadi tradisi turun-temurun, diwarisi dari generasi ke generasi, dari tingkat terendah hingga paling tinggi. Motif yang mendasarinya, tidak jauh dari ambisi kekuasaan dan kekayaan.
Tradisi para penguasa yang melakukan kongkalikong untuk kepentingan pribadi, secara historis, telah berlangsung selama berabad-abad. Pada era pemerintahan kolonial Belanda, mereka kerap memanfaatkan kaum bangsawan pribumi ini sebagai perantara kekuasaan mereka. Melalui peran para bendara atau bupati, kekuasaan kolonial dapat melakukan praktik indirect rule. Indirect rule, yang berarti kekuasaan tak langsung, membuat Belanda harus mengandalkan pemerintah lokal untuk menjalankan pemerintahan. Para abdi, masyarakat bawah, menderita karenanya.
Ini bukan berarti semua bangsawan pribumi pada masa tersebut merupakan orang yang korup. Banyak dari mereka merasa lebih nyaman berada di bawah ketiak penguasa. Sangat sedikit dari mereka yang tergerak untuk memperjuangkan nasib masyarakat dan melawan kekuasaan kolonial.
Salah satu contoh praktik kongkalikong antara kekuasaan asing dengan bangsawan pribumi sering terjadi adalah praktek adu domba yang dilakukan VOC di Kesultanan Banten. Melalui Sultan Haji, yang telah terhasut politik adu domba VOC, mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa, ayahnya sendiri, pada 27 Februari 1682. Sultan Haji diuntungkan karena akhirnya ia bisa menjadi raja, sementara VOC diuntungkan karena bisa mempertahankan monopoli perdagangan di wilayah Banten.
Praktek kongkalikong antara Belanda dan bangsawan pribumi, tidak hanya menguntungkan Belanda. Seperti kasus sebelumnya, penguasa pribumi juga ikut mendapatkan keuntungan. Seperti yang terjadi dalam pembangunan Jalan Raya Pos, Daendels telah menyiapkan upah bagi para pekerja yang membangun proyek besar tersebut. Menurut Djoko Marihandono dalam disertasinya, Daendels telah menyalurkan upah sebesar 30.000 ringgit untuk menggaji para mandor dan pekerja rodi melalui perantara residen serta bupati. Namun, uang tersebut justru dikorupsi oleh para bangsawan pribumi.
Dapat dikatakan, fenomena kongkalikong politik bukan barang baru di Indonesia. Ia telah memiliki akar historis yang panjang, bermuara pada kebudayaan patron-klien yang tercipta sejak masa klasik. Ia sudah mendarah daging dalam mentalitas masyarakat Indonesia. Banyak pejabat pemerintah Indonesia dewasa ini masih mempertahankan pola pikir lama tersebut, meski Reformasi, yang telah berkumandang lebih dari 20 tahun, menghendaki Indonesia untuk keluar dari feodalisme dan politik masa kerajaan yang dipandang menghambat kemajuan.