Merayakan Kemerdekaan di Tengah Bertambahnya Belenggu

Merdeka Apanya Mural "Merdeka Apanya" di salah satu sudut jalan, courtesy of Suara Islam

Sudah 80 tahun Indonesia merdeka sebagai sebuah negara-bangsa. Dalam usia yang bisa dikatakan sebagai perjalanan menuju masa keemasan, negara-bangsa ini dicita-citakan untuk tumbuh sebagai sebuah bangsa yang besar.

Namun, sejak awal Agustus lalu, sebuah gerakan untuk mengibarkan Jolly Roger mencuat di media sosial. Berawal dari tindakan para supir truk yang kecewa terhadap keputusan pemerintah, ia meluas menjadi wujud frustrasi publik atas kondisi negara-bangsa Indonesia, yang kian hari kian mundur dan menyengsarakan rakyat.

Menanggapi kekecewaan rakyat, para pembesar negeri justru melihat gerakan ini sebagai sebuah pengkhianatan. Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, menyebutnya sebagai gerakan memecah belah bangsa. Senada dengan Dasco, Budi Gunawan, Menko Polkam, menyebutnya sebagai bentuk provokasi.

Suara para pembesar negeri ditanggapi oleh segenap aparat keamanan di negara-bangsa Indonesia. Beramai-ramai, kepolisian dan TNI melakukan intimidasi kepada rakyat yang kedapatan mengibarkan Jolly Roger. Ada yang didatangi anggota TNI, dihapus dari tembok, dan lainnya.

Bendera Jolly Roger dari anime One Piece berkibar di puncak Gunung Lawu pada 2024 lalu, courtesy of Kompas.com

Ketakutan para pembesar terhadap gerakan Jolly Roger mendasar. Sebagai pemegang kuasa atas rakyat, mereka melihat gerakan tersebut sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan para pendiri negara-bangsa Indonesia selama ini. Mereka tidak ingin, Merah-Putih yang begitu luhur harus dikalahkan oleh bendera dari sebuah anime tentang bajak laut.

Tetapi, pernahkah mereka berpikir lebih jauh, mengapa sampai ada gerakan seperti ini? Jika mereka duduk dan tidak bersikap reaktif, mereka akan menyadari sesuatu yang lebih besar; bahwa gerakan rakyat tersebut adalah wujud dari kesulitan kehidupan yang dialami rakyat selama ini.

Jika kita mundur sedikit ke belakang, kita akan menemukan bahwa kehidupan rakyat Indonesia saat ini penuh dengan kesulitan. Pengganggur meningkat tajam, membuat rakyat berebutan untuk sekadar mencari pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Ketika sudah mendapatkan pekerjaan, mereka harus dihadapkan dengan tidak adanya jaminan kesejahteraan, dan berakhir menjadi budak para pemberi kerja.

Baca Juga  Fenomena Urban Farming di Tengah Kepadatan Kota, Apakah Hanya Sesaat Saja?

Ketika kesejahteraan rakyat tidak terjamin, pemerintah dengan mudah mengatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia turun. Usut punya usut, angka tersebut turun terjadi karena perubahan indikator dalam pengukuran yang dilakukan pemerintah, alih-alih benar mengalami penurunan secara ril.

Hal ini membuat rakyat Indonesia bertanya. Apa arti Indonesia Merdeka, jika kehidupan rakyat masih berada dalam belenggu ketidaksejahteraan dan ketimpangan antara mereka yang berperut besar dan mereka yang hanya tinggal tulang dan kulit? Dalam bahasa mereka, kira-kira akan menjadi “ya Tuhan, kenapa aku WNI?

Sejumlah warga Jakarta sedang mencari pekerjaan di bursa lowongan kerja Naker Fest di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan pada 2024, courtesy of detikFinance – detikcom

Jika kita kembali kepada awal abad ke-20, ketika rakyat Indonesia bergerak melalui berbagai perkumpulan, mereka mengutarakan semangat Indonesia Raja. Semangat tersebut tidak hanya berarti rakyat Indonesia mengatur pemerintah atas tanah tumpah darah mereka sendiri. Ia juga berarti lepas dari bingkai kolonial, yang selama ini membelenggu mereka.

Semangat tersebut, yang kemudian melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, terus digemakan lebih kuat. Indonesia Raja masih menjadi tujuan utama, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan kultural. Sembari menghadapi pasukan NICA yang berusaha menguasai kembali Indonesia, mereka juga menyiapkan langkah-langkah untuk menciptakan kesejahteraan bagi seantero rakyat.

Disayangkan, makna kemerdekaan negara-bangsa Indonesia, yang kini diwariskan kepada kita, hanya dimaknai sebagai bebas dari pengaruh asing. Ia tidak lagi dimaknai sebagai upaya untuk bebas dari belenggu, dalam arti mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kemerdekaan Indonesia berakhir sebagai sebuah selebrasi, yang dirayakan selama satu hari, untuk kemudian disimpan kembali dalam peti penyimpanan di gudang. Ia hanya menjadi jalan bagi para pembesar negeri untuk mendaku paling berjasa dalam Indonesia, merasa paling nasionalis.

Indonesia sudah berusia 80 tahun, sebagai sebuah negara-bangsa. Alih-alih merayakan kemerdekaan seperti yang sudah-sudah, yakni hanya sebagai perayaan semata, sudah sepantasnya ia digunakan untuk merenungkan kembali esensi kemerdekaan yang ada saat ini.

Baca Juga  Menggugat Pancasila sebagai Sebuah Ideologi

Apakah negara-bangsa Indonesia sudah benar-benar bebas dari belenggu? Atau, belenggu tersebut justru menjadi semakin menghebat dalam tubuh negara-bangsa tercinta ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *