Kemampuan bertanya adalah salah satu aspek penting dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Bertanya tidak hanya membantu mahasiswa memperdalam pemahaman materi, tetapi juga mendorong proses berpikir kritis yang esensial dalam pengembangan akademik dan profesional mereka.
Namun, tidak jarang ditemukan mahasiswa yang cenderung tidak berani bertanya selama proses belajar-mengajar dalam perkuliahan sehingga lingkungan kuliah menjadi pasif. Suasana kelas menjadi terasa membosankan, berdampak pada komunikasi penyampaian materi atau pemikiran dari dosen ke mahasiswa, yang seharusnya secara dua arah, menjadi tidak efektif.
Menurut Jean Piaget dalam The Theory of Cognitive Development (1952), pembelajaran efektif akan terjadi ketika siswanya aktif berinteraksi dengan lingkungan dan materi pelajaran, yang tentunya mencakup aktivitas bertanya. Piaget percaya bahwa pembelajaran efektif terjadi ketika siswa aktif berinteraksi dengan lingkungan mereka, dan dengan materi pelajaran yang mereka pelajari. Dalam konteks ini, pembelajaran bukanlah proses pasif, ketika informasi hanya ditransfer dari dosen ke mahasiswanya, melainkan proses aktif yang memungkinkan mahasiswa membangun pemahaman mereka sendiri dan membentuk sebuah perspektif yang berbeda secara logis dan runtut.
Dalam kerangka teori Piaget, seorang siswa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menantang mereka untuk berpikir, mengeksplorasi, dan memecahkan masalah. Pembelajaran bukanlah proses seorang mahasiswa menjadi penerima pasif dari pengetahuan, tetapi mahasiswa harus bisa menjadi seorang pembangun yang aktif dari pemahaman mereka sendiri.
Namun, dalam banyak kasus, pengajaran yang bersifat satu arah (teacher-centered) masih dominan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Metode ini cenderung memposisikan dosen sebagai pusat informasi, sementara mahasiswa sebagai penerima pasif. Hal ini menciptakan lingkungan belajar yang kurang interaktif dan dapat menghambat partisipasi aktif mahasiswa.
Satu penyebabnya, budaya dan norma sosial berperan penting dalam membentuk perilaku mahasiswa. Dalam budaya Indonesia, masih melekat kecenderungan untuk menghormati otoritas dan menghindari sebuah perdebatan. Menurut penelitian Hofstede mengenai budaya orang Indonesia (dikutip melalui Damar Aji Irawan), Indonesia memiliki skor tinggi dalam dimensi power distance.
Ini menunjukkan adanya hierarki yang jelas antara yang memiliki otoritas dan yang tidak. Dalam ranah feodalisme, ia masih terjalin kental dalam segala aspek berkehidupan di bangsa ini.
Pada lingkungan pendidikan di kampus, hal ini tercermin melalui relasi antara dosen dan mahasiswanya. Dosen dianggap sebagai otoritas yang tidak boleh dipertanyakan. Persoalan ini, yang akarnya dari feodalisme, akan selalu melekat jika masih sering dianggap sebagai sebuah etika moral yang diwajarkan.
Selain itu, budaya malu (shame culture) juga telah memengaruhi keberanian mahasiswa untuk bertanya. Takut dianggap bodoh atau tidak kompeten oleh teman sekelas atau dosen seringkali menjadi alasan mengapa mahasiswa lebih memilih diam daripada bertanya. Dosen juga menganggap, kalau ada mahasiswa bertanya kembali mengenai materi yang baru saja dijelaskannya, sang dosen langsung berasumsi jika mahasiswa tersebut tidak memperhatikannya, tanpa melihat dulu konteks pertanyaannya.
Kita bisa menyaksikan sendiri, atau mungkin pernah mengalaminya secara langsung, jika tekanan sosial akan sebuah sikap kesalahan dalam lingkup pendidikan mengakibatkan sinisme berlebihan dalam menekan seseorang yang dianggap kurang kompeten tersebut. pembelajaran yang efektif, dalam perspektif teori Piaget, tidak akan menjadi relevan karena dibatalkan oleh budaya-budaya dalam kemasyarakatan.
Kurikulum pendidikan di Indonesia, sebagai pilar dalam membangun pendidikan, juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku mahasiswa. Kurikulum yang terlalu padat dan berorientasi pada penilaian seringkali tidak memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan bertanya dan berpikir kritis. Seorang mahasiswa akan gagal dalam percobaannya membentuk pemikiran yang abstrak dan filosofis, karena pada akhirnya, berhasil atau tidaknya mereka akan dianggap oleh dosen melalui hasil kerja semata.
Kalau mahasiswa merasa malas duluan, bisa jadi mereka bukan tidak mampu bertanya, tapi hanya malas bertanya karena merasa terbebani oleh kurikulum dan budaya yang melekat.
Dari poin-poin di atas, dapat dibayangkan bahwa perlu sebuah kebijakan oleh pemerintah dan mereka yang berkepentingan untuk mengikis budaya-budaya ini. Mereka tidak boleh hanya berkutat pada hasil, sementara mengabaikan pengembangan kemampuan, minat, dan keterampilan mahasiswa, yang dapat dilihat dari kemampuan mereka bertanya di kelas dan di luar kelas.