Hari ini, orang-orang dicemaskan dengan kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Kehadirannya dinilai meresahkan banyak orang karena kemudahan yang ditawarkan.
Tanpa keahlian khusus, seseorang bisa tiba-tiba menjelma menjadi konsultan kesehatan, ilmuwan, seniman, dan masih banyak lagi. Padahal, untuk menjadi salah satu ahli di bidang tersebut dahulu, saya mesti menjalaninya mati-matian. Apakah ini yang diramalkan oleh Tom Nichols dalam Matinya Kepakaran?
Atas permasalahan tersebut, banyak orang bertanya, apakah profesi saya, yakni seorang pendidik, akan segera digantikan oleh AI? Pertanyaan ini penting, melihat para pendidik gundah melihat peserta didik dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan mudah.

Tidak hanya selesai, namun tingkat akurasinya melebihi tingkat kognitifnya. Setelah diamati, ternyata mereka meminjam AI dan menjadikannya seolah-olah sebagai kecerdasannya.
Seperti penyanyi lipsync, peserta didik yang menggunakan AI sebagai kecerdasannya tampil dengan suara, ekspresi, dan nada yang merdu. Namun, ia hanya sebuah kepalsuan. Manakala dimatikan suara musik yang mendampinginya, mereka hanyalah gestur dan gerak bibir semata.
Apa yang dapat dilakukan untuk menangkal dampak negatif dari AI?
Kecerdasan Buatan dan Permasalahannya
Sebelum memastikan hal tersebut lebih jauh, baiknya saya menguraikan sedikit mengenai apa itu AI.
Stuart J. Russell dan Peter Norvig, dalam buku Artificial Intelligence: A Modern Approach, menjelaskan bahwa AI merupakan sistem yang dapat berpikir dan bertindak secara rasional. Melalui mesin, ia berupaya untuk mencapai kecerdasan manusia.
Hari ini, AI telah menjelma ke dalam beragam platform media sosial dan perangkat lunak (software) komputer. Ia merasuki beragam aspek kehidupan manusia sehari-hari, seperti dalam bentuk asisten virtual, desainer, diagnosis penyakit, pemprograman, dan banyak lagi.

Meski begitu, AI bekerja melalui data dan perintah manusia. Semakin jelas dan spesifik perintah yang diberikan, hasil yang diberikan AI akan semakin mendekati keinginan manusia.
Mungkin di antara pembaca ada yang pernah membaca tulisan Teguh Setiawan yang berjudul Godfather AI Tinggalkan Google, Kampanyekan Bahaya Kecerdasan Buatan Bagi Umat Manusia di sini. Dalam tulisan tersebut, Geoffrey Hinton, ilmuwan komputer yang pernah menjadi bagian Google, mengatakan bahwa AI menghilangkan banyak pekerjaan manusia dan berpotensi menyebarkan informasi yang salah.
Lebih dari itu, Elon Musk, yang kini menjadi bagian dari pemerintah Amerika Serikat, menulis sebuah cuitan pada 2014 bahwa AI dapat lebih berbahaya dari nuklir. Pernyataan tersebut ada benarnya, jika kita merujuk pernyataan Kepolisian Inggris pada Desember 2024, yang menyatakan bahwa AI dapat digunakan untuk tindak kriminal, seperti penipuan dan pelecehan seksual.
Dalam dunia pendidikan, keberadaan AI mendorong pada matinya ketajaman berpikir dan imajinasi. Kaitannya dengan hal ini, Bagas Pamungkas dalam artikel AI di Perkuliahan: Membantu atau “Mem-buntukan” Mahasiswa?, mengatakan bahwa AI dapat membuat pelajar ketergantungan, melemahkan kreativitas, dan memunculkan ketidakadilan.
Bagas menyampaikan beberapa alasan terkait hal tersebut. Pertama, pelajar tidak perlu susah payah dengan pikirannya dalam mengerjakan tugas; cukup andalkan AI saja. Kedua, AI dapat menjawab/mengerjakan perintah melalui pola yang jelas; berarti tidak bisa berpikir di luar kebiasaan. Ketiga, pelajar yang memiliki akses terhadap AI paling intens adalah mereka yang dianggap pandai; mereka yang jauh dari AI, dianggap kolot dan ketinggalan zaman.
Berpikir Kritis, Kunci Menghadapi AI
Banyak ahli sepakat, bahwa AI tidak dapat disamakan dengan manusia. Alasannya, adalah AI tidak memiliki kesadaran seperti manusia.
Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Alan Turing dalam artikel berjudul Computing Machinery and Intelligence. Dalam artikel tersebut, ia menguji apakah mesin dapat berpikir. Melalui metode yang dilakukan Turing, imitation game lahir, membuat AI tumbuh menuju kecerdasan manusia.

Apakah itu berarti kesadaran AI sama dengan yang ditesiskan oleh Descartes, yakni “Aku berpikir, maka aku ada?” Mengutip Sigmund Freud, kesadaran lebih dari sekadar berpikir (ego). Ia adalah suatu keputusan yang disandarkan pada naluri (id) dan nilai (super ego). Apabila pernyataan Freud benar, maka kunci untuk menangkal dampak negatif AI adalah melatih kemampuan berpikir kritis.
Berpikir kritis, mengutip Benjamin Bloom, adalah sebuah kemampuan berpikir level tinggi dari manusia. Ia tidak hanya sekadar menyebutkan, mengingat, atau memahami informasi sederhana. Ia lebih dari itu, yakni dapat melakukan analisis terhadap persoalan kompleks dalam hidup.
Mengenai AI, yang hadir di tengah-tengah manusia, bagaimana AI bekerja, apakah ia benar dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, semuanya berada di tangan manusia. Keputusan akhir atas segala tindakan AI diolah kembali melalui kemampuan berpikir manusia, yang merancangnya.
Kehadiran AI di tengah-tengah manusia, bagaimana ia bekerja, serta apakah ia bernilai benar dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, semuanya berada di tangan manusia. Keputusan akhir atas segala tindakan AI, seharusnya diolah kembali melalui kemampuan berpikir kritis manusia. Jika tidak, manusia dapat terjebak dalam guna-guna AI, dan alih-alih membuat mereka cerdas, itu membuat mereka terjebak dalam perangkap matinya kepakaran.
Sangat bermanfaat. kita manusia tidak bisa digantikan oleh AI. Semoga tulisan ini menginspirasi banyak orang untuk berpikir kritis.
Selama manusia masih menggunakan daya berpikir kritis mereka, ia akan aman dari gelombang AI. Yang menjadi tantangan sekarang, adalah bagaimana memantik berpikir kritis tersebut …