Marxisme dan Seni: Pertautan Ideologi dan Estetis

Marxisme dan seni Mural yang mengisahkan sejarah Meksiko, dengan sosok Karl Marx, oleh Diego Rivera (2008), courtesy of Jacobin Magazine

Secara realita, Marxisme telah terbukti sebagai lahan subur bagi lahirnya analisis dalam bidang kritik estetika dan sastra.

Meski begitu, produksi karya seni yang berlandaskan Marxisme masih kurang, karena adanya batasan tertentu yang terkait dengan penerapan konservatif atas sudut pandang ideologi ini, yang masih mengikuti teori Karl Marx tentang hubungan superstruktur dan basis.

Dalam istilah umum, seni, seperti semua kegiatan dan karya, termasuk dalam superstruktur budaya. Ia ditentukan oleh kondisi sosio-historis, terutama yang bersifat ekonomi.

Sebuah hubungan antara sebuah karya seni dan matriks sosio-historisnya selalu dan dapat dilacak, karena seni, dalam arti tertentu, adalah sebuah refleksi dari realitas sosial. Di sinilah titik-temu dan keterkaitan antara Marxisme dan seni, yang membentuk hubungan antara keduanya.

Membangun Estetika Marxisme

Menurut Béla Királyfalvi, dalam buku The Aesthetics of Gyorgy Lukács, para penulis Marxis, terutama Georg Lukács, telah berusaha dengan keras untuk membangun estetika Marxisme, berdasarkan petunjuk dalam karya-karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Langkah Lukács tersebut kemudian diikuti oleh para penulis lain, seperti Edmund Wilson, Peter Demetz, Theodor Adorno, Frederic Jameson, Ernst Bloch, Lucien Goldmann, Hans Mayer, Bertolt Brecht, Maurice Merleau-Ponty, dan Christoper Caudwell.

Georg Lukács (juga ditulis sebagai György Lukács, 1885-1971), filsuf Marxis asal Hungaria yang memulai percobaan untuk membangun estetika Marxisme, courtesy of Verso Libros

Terdapat sejumlah pandangan yang saling berbeda, bahkan tidak kompatibel, tentang estetika Marxisme. Meski begitu, semua mengeklaim bahwa menemukan dukungan dalam teks-teks Marxis klasik, terutama tulisan Marx dan Engels.

Mengutip The Marx-Engels Reader yang disunting oleh Robert C. Tucker, posisi Marx dan Engels terbukti berbeda, meski perbedaan ini tidak begitu diperhatikan oleh para komentator mereka. Karena alasan politik, hal tersebut umum disanggah oleh para penganut paham Marxisme selama beberapa dekade.  

Pandangan Marx dan Engels atas Seni

Pada awal 1840-an, Marx dan Engels berkenalan satu sama lain. Mengutip The Marx-Engels Reader, mereka memiliki minat yang sama: seni, utamanya sastra. Meski begitu, latar belakang dan selera mereka sangat berbeda.

Menurut buku The Marx-Engels Reader, Marx memiliki pendidikan yang sangat baik dalam bahasa klasik di Gymnasium di Jerman, yang memengaruhi apresiasi seni dan sastranya di kemudian hari. Selain itu, selera sastra seorang Marx didorong oleh kecintaan terhadap budaya Yunani.

Ketika melanjutkan studi di Bonn, Marx menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempelajari seni dan mitologi Yunani. Ia juga sempat mencoba menulis sebuah novel, yang tidak selesai, dan sebuah draf tragedi.

Karl Marx (1818-1883), filsuf Jerman, yang membangun filsafat Marxisme bersama Friedrich Engels, courtesy of Wikipedia

Kecenderungan estetis penting dalam pemikiran Marx adalah konsepsinya tentang keberadaan manusia. Dalam Economic and Philosopic Manuscripts of 1844, Marx berargumen bahwa alienasi adalah hasil dari institusi atas kepemilikan pribadi, yang kemudian menjadi transisi menuju komunisme, ketika kepemilikan pribadi dihapuskan.

Baca Juga  Marxisme di Bawah Perestroika dan Glasnost Uni Soviet

Dalam bagian ketiga buku tersebut, Marx mengatakan bahwa perkembangan manusia secara penuh dijelaskan sebagai perkembangan dari berbagai indera. Ini dapat dicirikan melalui perspektif, yang sedikit berbeda dengan pandangan dalam The German Ideology, yang ditulis bersama Engels, sebagai kemungkinan nyata, kelanjutan dari penghapusan pembagian kerja yang berlaku dalam kapitalisme.

Gagasan ini berutang pada gagasan Schiller tentang estetika, yang merupakan elemen harmonisasi dasar dari kehidupan manusia.

Dalam Rough Draft, Marx menulis satu tema tentang estetika. Dalam buku ini, ia mengemukakan ide tentang perkembangan produksi material yang tidak merata, yang terkait dengan perkembangan artistik. Ia mendasarkan atas sebuah fakta, bahwa perkembangan seni terkadang tidak terkait dengan perkembangan umum masyarakat.

Terkait hal itu, Marx berpandangan bahwa seni Yunani, yang secara khusus mengandaikan mitologi Yunani, terikat pada tahapan sosial tertentu. Tetapi, seni Yunani juga memiliki nilai universal, yang tidak terikat dengan kondisi materialnya.

Sampul buku Grundrisse der Kritik der Politischen Ökonomie (Rohentwurf), dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Rough Draft, edisi 1953, courtesy Wikipedia

Di sini, Marx setia pada penilaian estetika dibandingkan dengan komitmen teoritisnya. Hasil akhir dari pemikiran Marx, adalah sebuah kontradiksi antara sensitivitas artistik dalam dirinya, yang dipupuk oleh pendidikan yang ia tempuh, serta teori yang ia rekomendasikan. Penghargaan atas nilai permanen seni Yunani, bertentangan dengan usahanya untuk memahami semua bentuk budaya sebagai fungsi dari organisasi ekonomi yang mendasari masyarakat.

Berbeda dengan Marx, yang tertarik dengan keunggulan seni Yunani, Engels memperlakukan seni klasik sebagai ilustrasi dari prinsip ekonomi dasar. Sebagai contoh, ia pernah berkomentar bahwa Iliad yang digubah Homer menunjukkan tititk tertinggi dari barbarism Yunani.

Pandangan ini didasarkan oleh pengalaman Engels, yang mendalami sastra secara otodidak. Selera sastra Engels dibentuk oleh aliran Romantisisme, yang tumbuh pada abad ke-19. Ini mencakup penghargaan terhadap puisi-puisi nasionalis di Jerman.

Apa yang Membuat Marx dan Engels Berpandangan Sama?

Meski memiliki pandangan yang berbeda, Marx dan Engels memiliki perspektif yang luas terhadap seni. Berdasarkan pandangan kontekstualisme Hegel, yang menawarkan bahwa seni bukan sebagai bentuk keindahan, tetapi sebagai tawaran akan akses tertentu kepada kebenaran, Marx dan Engels menempatkan seni sebagai wujud dari sifat masyarakat tempat ia dilahirkan.

Selain itu, Marx dan Engels, dalam beberapa tulisan mereka, melihat seni, dan bentuk-bentuk budaya lain, sebagai fungsi dari dimensi ekonomi yang mendasari sebuah masyarakat. Ini adalah hubungan antara superstruktur dan basis; sebuah upaya untuk memahami semua fenomena spiritual dan mental, segala sesuatu yang disebut sebagai Geist oleh Hegel, sebagai fungsi langsung atau tidak langsung dari hubungan material. Dalam pendekatan ini, istilah “material” dibiarkan tidak terdefinisi.

Friedrich Engels (1820-1895), filsuf Jerman dan menjadi teman terdekat Karl Marx, courtesy of Wikipedia

Meski Marxisme sering diidentifikasikan sebagai materialisme historis, dan bahkan materialisme dialektis, posisi Marx tetap independen dari pandangan tertentu tentang materi. Namun, baik Marx maupun Marxisme memiliki ide yang sama, yakni semua fenomena budaya dapat dipahami dalam konteks masyarakat tempat ia muncul.

Baca Juga  Bung Karno dan Isu Keislaman

Pandangan sentral, bahwa materi menentukan jiwa, termasuk dalam hal ini seni, mendasari pendekatan estetika dari Marxisme. Untuk membedakan tahap-tahap dalam pengembangan hubungan antara superstruktur dan basis, Marx dan Engels, dalam The German Ideology, menentang pandangan umum tentang filosofi Jerman. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa:

[p]roduksi ide, konsepsi, dan kesadaran, pada awalnya terjalin langsung dengan aktivitas material dan hubungan mental material antar manusia, bahasa kehidupan nyata. Memikirkan, berpikir, hubungan mental antar manusia, muncul pada tahap ini sebagai aliran langsung dari perilaku material mereka. Hal yang sama berlaku untuk produksi mental yang diekspresikan dalam bahasa politik, hukum, moralitas, agama, metafisika, dan lain sebagainya, dari suatu bangsa.

Pertentangan Engels atas Marx

Meski terdapat kesamaan antara Engels dan Marx, terdapat satu bentuk berbeda dari pandangan dalam subbab di atas. Dalam A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx berpendapat bahwa:

[d]alam produksi sosial kehidupan mereka, manusia memasuki hubungan tertentu yang tidak dapat dihindari dan independen dari kehendak mereka, hubungan produksi yang sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan produktif material mereka. Jumlah total hubungan produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, fondasi nyata, yang di atasnya berdiri superstruktur hukum dan politik, dan yang sesuai dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan material memengaruhi proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual secara umum. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi, sebaliknya, keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.

Terkait hubungan antara superstruktur dan basis, posisi Marx yang tidak konsisten mencerminkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah tersebut dalam pikirannya sendiri. Dalam beberapa surat yang ditulis setelah kematian Marx, Engels, yang kala itu menjelang akhir hidupnya, mengambil posisi yang lebih lembut dan interaksionis.

Sebagai contoh, dalam surat kepada J. Bloch pada 21 September 1890, Engels menyatakan bahwa unsur yang menentukan dalam sejarah, pada akhirnya adalah produksi dan reproduksi dalam kehidupan nyata. Lebih lanjut, untuk melemahkan konsep penentuan ekonomi di luar batas pemahaman, Engels menulis bahwa semakin jauh seseorang dari bidang ekonomi dan mendekati bidang ideologi murni, ia akan menemukan dirinya dalam kecelakaan, dengan kurva yang bergerak zig-zag.

Baca Juga  Sejarah Payung, dari Simbol Para Raja hingga Produksi Massal

Dalam surat kepada Minna Kautsky dan Margret Harkness, Engels menyampaikan penolakannya terhadap sastra, yang memiliki kecenderungan mendukung pesan politik yang benar, demi pendekatan realis yang memunculkan perspektif benar. Dalam surat kepada Harkness, yang memandang novelnya sebagai realistis, Engels berpendapat bahwa itu tidak cukup realistis. Realisme, baginya, memerlukan reproduksi detail yang akurat, serta representasi yang jujur dari karakter-karakter tipikal dalam keadaan yang juga tipikal.

Contoh Kontemporer

Jika Anda sulit untuk mengikuti pandangan Engels dan Marx tentang seni dalam perspektif Marxisme ini, beberapa contoh kontemporer dalam bagian ini akan membantu Anda.

Sebelum Revolusi Rusia, Plekhanov, guru dari seorang Vladimir Lenin, menentang doktrin seni untuk seni. Dalam Art and Social Life, ia melakukan pemisahan atas seniman, baik dalam teori maupun praktik, dari masyarakat.

Setelah Revolusi bergulir, terjadi perdebatan terkait seni antara kaum Marxis dan formalis. Trotsky, dalam Literature and Revolution, berpendapat bahwa seni memiliki hukum-hukum khas, yang tidak dapat direduksi menjadi motif ekonomi.

Sampul buku Literature and Revolution (1923) karya Leon Trotsky, courtesy of Wikipedia

Sesuai dengan doktrin partiinost, Lenin berpandangan bahwa penulis harus menempatkan seni sebagai pelayan partai. Pada Kongres Serikat Penulis Soviet Pertama (1934), Partai Komunis Uni Soviet menetapkan kontrol atas seni, sesuai dengan pandangan Engels dalam suratnya kepada Harkness.

Menurut pandangan ini, untuk menggairahkan semangat revolusioner, seniman harus mengungkapkan kekuatan sosial yang bergerak dan menggambarkan karakter mereka, sebagai ungkapan dari kekuatan-kekuatan ini.

Pada abad ke-20, estetika Marxis telah berkembang dalam lima arah yang berbeda.

Arah Pertama, adalah kelayakan kontemporer dari konsep realisme, yang menghasilkan perdebatan antara Lukács dengan Brecht.

Kedua, tentang teori seni sebagai ideologi, yang diwakili oleh Terry Eagleton dalam The Ideology of the Aesthetic.

Ketiga, hubungan antara estetika dan politik, yang dikembangkan oleh Herbert Marcuse dalam The Aesthetic Dimension: Towards a Critique of Marxist Aesthetics, yang berpandangan bahwa estetika menunjukkan arah menuju dunia yang lebih baik.

Keempat, adanya upaya untuk mengaitkan bentuk-bentuk seni, utamanya puisi, dengan kondisi masyarakat. Pandangan ini digemakan oleh Caudwell, dalam Illusion and Reality: A Study of the Sources of Poetry.

Kelima, adalah gagasan atas nilai estetis. Oleh arah kelima, sekaligus menjadi yang terakhir dari estetika Marxis, gagasan tersebut berkaitan dengan refleksi sosial dan perjuangan kelas dalam sebuah karya seni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *