Pada 27 Maret 1980, di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Presiden Soeharto memberikan beberapa patah kata dalam rapat umum bersama para pemimpin ABRI. Kala itu, ia menyinggung tentang proses penyusunan RUU Partai Politik dan Golongan Karya, yang menurutnya masih mencantumkan adanya asas pokok dan asas ciri.
Dalam buku Cara Ali Sadikin Menarik Perhatian Presiden Soeharto melalui Petisi 50, sebenarnya ada dua pidato, yakni yang tertulis dan tidak tertulis, pada rapat itu. Pidato yang disebut terakhir disampaikan saat Soeharto sudah turun dari podium, tetapi naik kembali. Tidak diketahui lebih lanjut, apakah perkataan tentang asas pokok dan asas ciri termaktub dalam pidato tertulis atau tidak tertulis.

M. Natsir, dikutip melalui buku M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya oleh Thohir Luth, menginterpretasikan bahwa melalui pidato Soeharto dan UU Partai Politik, pemerintah melihat bahwa masih ada partai politik (parpol) yang belum sepenuhnya percaya dengan Pancasila. Melalui pidato di Pekanbaru itu, presiden mengajak ABRI untuk berhati-hati dalam memilih kawan, karena masih ada yang belum berjiwa Pancasila.
Tidak lama setelah pidato itu, Soeharto, pada HUT Kopassus, tepatnya pada 16 April 1980 di Markas ABRI Cijantung, mengatakan dua buah pernyataan kontroversial. Dikutip melalui buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim, Soeharto pertama-tama berkata bahwa lebih baik kami culik satu dari dua per tiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi kuorum, dan kedua, ia berujar bahwa yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.
Dua pernyataan ini, pada akhirnya, memantik lahirnya sebuah petisi, yang dikenal sebagai Petisi 50.
Sudah Kehendak Gusti Allah
Pada 5 Mei 1980, sejumlah 50 orang bersepakat menandantangani sebuah Pernyataan Keprihatinan. Surat pernyataan tersebut, menurut A. Makmur Makka dalam buku Mr. Crack dari Parepare (dikutip melalui VOI), kemudian lebih dikenal dengan Petisi 50.
Tidak ada yang tahu, mengapa ada sejumlah 50 orang yang menandatanganinya. Ali Sadikin, sebagai salah satu yang ikut dalam Petisi 50, mengatakan bahwa ia “sudah kehendak Gusti Allah,” dan mungkin kalau terlalu banyak “akan sulit diajukan ke DPR.”

Masih menurut Ali Sadikin, Penandatanganan Petisi 50 tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan bergiliran. Selain di Gedung Veteran, mereka juga menandatangani Petisi 50 di rumah masing-masing, termasuk rumah sang mantan gubernur Jakarta tersebut.
Tidak ada yang mengetahui siapa yang membuat konsep Petisi 50, setidak-tidaknya menurut Ali Sadikin. Meski begitu, ia menolak untuk mengatakan bahwa ia lahir dari konsep Masjumi, meski banyak eks-Masjumi yang ikut di dalamnya.
Petisi 50 melawan Personifikasi Pancasila
Mengutip artikel dalam tempoco, Petisi 50 berisi enam poin. Salah satunya, adalah adanya prasangka bahwa … terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin “melestarikan Pancasila” … dengan mereka yang ingin “mengganti Pancasila.”
Selain itu, Petisi 50 juga memuat pandangan bahwa dia, dalam arti Presiden Soeharto, adalah “personifikasi Pancasila,” sehingga “desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.”

Menurut artikel dalam Kompas.com, delapan hari setelah lahirnya Petisi 50, 30 dari 50 orang yang menandatanganinya bersama-sama pergi ke Senayan. Di sana, isi petisi dibacakan di depan anggota DPR, dengan Mayjen Dr. Azis Salih, delegasi yang menghadap wakil rakyat kala itu.
Pada 3 Juli 1980, 19 anggota DPR mengajukan dokumen berisi dua pernyataan kepada Presiden Soeharto. Kedua pernyataan tersebut, adalah: 1) apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu berisikan masalah penting?; dan 2) Apakah rakyat Indonesia patut mendapat penjelasan yang menyeluruh dan terperinci mengenai masalah-masalah yang diangkat?
Soeharto Gerah
Bagaimana jawaban Soeharto terkait Petisi 50. Mengutip artikel dalam Kompas.com, pada 1 Agustus 1980, sang presiden menulis bahwa dia yakin, para anggota DPR sudah berpengalaman dalam memahami makna dari pidato yang ia sampaikan dalam pengantar di atas. Akan tetapi, jika ada anggota DPR yang masih belum puas, ia mengusulkan agar mereka mengajukan pertanyaan kepada anggota dari Komisi-Komisi DPR yang terkait.
Berbeda dengan apa yang disampaikan Kompas.com di atas, buku Cara Ali Sadikin Menarik Perhatian Presiden Soeharto melalui Petisi 50, menerangkan bahwa Soeharto balik meminta perwakilan DPR yang bertanya dan meminta keterangan tentang apa yang dipermasalahkan oleh Petisi 50 agar membaca ulang pidato presiden di Pekanbaru dan Cijantung. Ia juga meminta Menhankam/Pangab untuk memberikan penjelasan seperlunya.
Sebagai pihak yang dipermasalahkan, Soeharto tidak menyukai keberadaan Petisi 50. Dalam otobiografinya, My Thoughts, Words and Dees: An Autobiography (disadur dari tempoco), Soeharto mengatakan bahwa ia “tak suka cara-cara mereka,” terlebih mereka menyebut diri sebagai “patriot.”
Ketidaksukaan Soeharto terhadap Petisi 50 diwujudkan dalam beberapa respons. Mengutip artikel Petisi 50 dan Dampaknya pada Masa Orde Baru Tahun 1980-1985 oleh Aprilinata dkk., setidak-tidaknya ada empat hal yang dilakukan sang presiden kedua Indonesia ini.
Pertama, ia melarang orang-orang yang terlibat dalam Petisi 50 untuk mengikuti pemilu, atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan calon legislatif. Kedua, ia memerintahkan penangkapan kepada mereka yang menandatangani Petisi 50. Ketiga, ia melarang media untuk membuat atau mengutip berita tentang petisi ini. Keempat, ia melarang orang-orang yang terlibat dalam Petisi 50 untuk keluar Indonesia.
Para Pembubuh Tanda Tangan Dicekal Rezim
Respons Soeharto terhadap Petisi 50 tidak main-main. Mereka, yang berada di balik petisi ini, menjadi korban dari keganasan sang presiden.
Sebut saja M. Jasin, sebagaimana dikutip dalam artikel yang ditulis Aprilinata dkk., mengatakan bahwa ia “dianggap telah melakukan penghinaan terhadap presiden Soeharto,” dan “mengganggu kepentingan umum.”
Tidak hanya Jasin yang mengalami nasib serupa. M. Natsir, dalam buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim, harus mendapatkan pelarangan untuk bepergian ke luar negeri. Ia sampai harus datang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, melakukan konsultasi atas pencekalan dirinya.

Larangan yang diterima M. Natsir tersebut terus berlanjut hingga 1990-an, ketika tidak dapat menerima gelar doktor kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Minang, dan ketika akan berobat ke luar negeri.
Tidak hanya Natsir yang dilarang ke luar negeri. Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, hingga Ali Sadikin, juga bernasib sama. Untuk tokoh yang disebut terakhir, yang sempat menjabat sebagai Ketua PSSI, tidak dapat pergi ke Belanda. Ia dapat mengurus paspor, tetapi di imigrasi, ia mengalami kendala.
Ali Sadikin diberikan beberapa syarat oleh Pusat Imigrasi, jika ingin pergi ke Belanda untuk menemui istrinya. Syarat-syarat tersebut adalah tidak boleh berpolitik, harus melapor ke kedutaan besar, dan tidak boleh lebih dari dua bulan. Meski sulit, Ali Sadikit dapat pergi ke Belanda.
Pada akhirnya, para “patriot” yang menandatangani Petisi 50 harus mengalami pencekalan oleh kekuasaan Soeharto. Namun, suara mereka, melalui Petisi 50 ini, merupakan wujud perlawanan atas personifikasi Pancasila yang berusaha dilakukan Soeharto melalui tangan-tangan kekuasaannya.