Sering dikatakan bahwa musik dilarang dalam Islam dan pernyataan ini diulang oleh banyak Muslim kontemporer serta oleh orientalis. Namun, ketika seseorang mempelajari dunia Islam, baik dalam bentuknya yang sekarang atau selama berbagai tahap sejarahnya, ia dikejutkan oleh kehadiran musik dalam banyak aspek paling mendasar dari tradisi itu. Azan hampir selalu dinyanyikan, seperti halnya Al-Qur’an yang nyanyiannya adalah yang paling estetis dari semua musik untuk jiwa orang-orang beriman.
Seyyed Hussein Nasr, Islam and Music
Apakah musik diperbolehkan dalam Islam? Pertanyaan tersebut sudah mulai diperdebatkan sejak abad pertama kehadiran Islam sebagai sebuah agama di dunia, dan terus berlanjut hingga kini.
Terlepas dari argumen teologis, penolakan terhadap musik di kalangan otoritas agama Islam tampaknya muncul dari peran musik dalam masyarakat.
Musik, seiring berjalannya waktu, sering diasosiasikan dengan kehidupan yang menyenangkan serta selera akan kemewahan. Ditambah dengan partisipasi perempuan dalam pembuatan musik dan tarian, yang sering dianggap tidak senonoh, serta adanya minuman yang memabukkan yang menyertainya, musik tampil dengan konotasi sensualitas.
Hal ini bahkan menjangkau dua kota suci bagi umat Islam, Mekah dan Madinah, yang dengan cepat menjadi pusat hiburan.
Perdebatan Panjang Lintas Generasi
Tidak ada garis demarkasi yang jelas antara musik sakral dan musik sekuler. Musik sekuler, sepanjang sejarah kehadirannya, terombang-ambing antara seni dan musik rakyat.
Menurut beberapa tradisi yang muncul terkait perdebatan musik dalam Islam, Nabi Muhammad saw. Akan menyetujui kehadiran tradisi musik rakyat, dan menolak tradisi musik sebagai seni. Akibatnya, musik sepenuhnya membuang interpenetrasi, meski proses interpenetrasi antara kedua jenis musik tersebut membuatnya terus berfluktuasi.
Pada tataran teologis dan filosofis, otoritas yang menjadi dasar bagi kedua belah pihak adalah Al-Qur’an, Hadis, tulisan para pemuka agama, pendapatan para mistikus, dan hukum tradisional.

Seyyed Hussein Nasr, dalam artikel Islam and Music, menyebut bahwa tidak ada satu ayat pun yang khusus membahas tentang musik dalam Al-Qur’an. Untuk itu, Hadis menjadi sumber utama.
Interpretasi literal terhadap teks religius diperkuat dengan penalaran analogi. Penalaran ini, oleh al-Ghazāli, dimanfaatkan dengan cemerlang, yang termuat pada satu bab khusus tentang musik dalam Verification of the Religious Sciences.
Di sisi lain, kaum mistik menjunjung tinggi musik, dan menjadikannya elemen penting dalam zikir. Dalam gerakan mistik, terdapat sebuah aturan yang disebut samā’ (mendengarkan), yang sebagian bersifat deskriptif, dan sebagian lagi bersifat polemik.
Sebagian besar kegiatan samā’ memanfaatkan musik. Tetapi, ia tetap mengakui adanya pelanggaran tertentu, dan kadang-kadang menentang tarian dan penggunaan alat musik.
Amnon Shiloah, dalam Music in the World of Islam: A Socio-cultural Study, mengatakan bahwa para penulis dalam tradisi yang sama seringkali berbeda pendapat, dan kontroversi atas musik dalam Islam terus berlanjut selama beberapa generasi. Misal, risalah ‘Abd al-Ghant an-Nabulsi yang berjudul Corincing Proofs Concerning the Permisibility of Listening to Musical Instrument dikritik oleh Muhammad ad-Dämünt.
Musik dalam Melantunkan Al-Qur’an
Apa sebenarnya kegunaan musik dalam konteks keagamaan, dalam hal ini Islam, yang menimbulkan perselisihan pendapat yang begitu sengit? Terdapat tiga hal terkait hal tersebut, yakni: 1) lantunan Al-Qur’an; 2) azan; dan 3) beberapa nyanyian untuk acara-acara khusus dan hari-hari suci.
Mengutip Henry George Farmer dalam The Sources of Arabian Music, latar belakang musik dalam lantunan Al-Qur’an dapat dilacak hingga paruh kedua abad ke-7. Tradisi ini tidak terkait dengan baik terhadap tradisi musik Yahudi dan Kristen. Menurut beberapa sumber, ia berasal dari nyanyian zaman kuno dan karya puisi pra-Islam.
Menurut Shiloah, risalah tentang aturan-aturan yang dikodifikasi (tajwid atau “hiasan bacaan”), ditulis untuk tujuan mengajari pembaca Al-Qur’an bagaimana menyajikan ayat-ayat suci dengan cara yang mudah dipahami dan mengharukan, dan menghindari bidah apa pun, yang mungkin diakibatkan dari kesalahan pembacaan.

Penggunaan aksen (aksentuasi) pemanjangan, serta asimiliasi tertentu terhadap huruf, jeda, dan pengucapan yang benar dibuat tertutup. Selain itu, tingkat kecepatan juga diatur dalam risalah ini, yakni kecepatan lambat dan khusyuk, menengah, dan cepat.
Seringkali, nyanyian seperti itu tidak ada hubungannya dengan musik, dan secara teori, ia tidak dapat dihitung sebagai sebuah musik. Namun, dalam praktiknya, ia menyerap beberapa unsur dalam musik.
Di beberapa negara, lantunan Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Namun, ciri-ciri dasar tetap mengikuti tajwid dan selalu dijaga dan disesuaikan. Iringan instrumental, seringkali dihindari.
Musik dalam Mengumandangkan Azan
Selain dalam melantunkan Al-Qur’an, panggilan salat atau azas, dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Antara tahun 622 dan 624 Masehi. Nasr mengatakan bahwa Bilal, seorang budak yang dibebaskan, merupakan muadzin pertama, dan menjadi santo pelindung bagi serikat muadzin di Turki dan Afrika. Kesyahidannya menjadi subjek favorit dalam drama dan film modern.
Struktur azan ditentukan oleh ungkapan nyanyian teks. Ia terdiri dari 12 frasa musik yang mengatur tujuh baris teks, dengan pengulangan. Namun, ritme yang digunakan relatif bebas, dan melodinya bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, menyesuaikan dengan budaya musik di daerah tersebut.

Henry George Farmer, dalam artikel berjudul Music (dimuat dalam buku A History of Muslim Philosophy Volume Two), mengatakan bahwa fenomena tersebut terlihat di Maghreb (Afrika bagian utara), dan negara-negara di wilayah Timur Dekat (Near East).
Meski begitu, ia berjalan sesuai dengan prinsip terbuka dan tertutup, yang merupakan ciri umum dari melodi folk. Bentuk umumnya adalah kurva, dengan titik tinggi berada pada frasa ketujuh dari dua belas frasa.
Azan dilantunkan lima kali sehari, dengan suara yang kuat dan ekspresif. Dalam kesempatan tertentu, ia ditambah dengan garis tambahan.
Saat ini, azan sering dikumandangkan melalui mikrofon dan pengeras suara, alih-alih secara vocal dari atas menara.
Lantunan Musik dalam Hari Besar Keagamaan
Kehadiran musik dalam tradisi Islam, setelah dalam melantunkan Al-Qur’an dan mengumandangkan azan, adalah melalui perayaan hari besar dan acara tertentu. Pada malam Ramadan, seseorang biasa mendengar nada khusus dalam acara fazzāziyyāt.
Juga, pada peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. (Maulid), nyanyian dan kisah kelahiran dan kehidupannya dilantunkan. Di Turki, Suleyman Chelebi menulis sebuah puisi khusus untuk Maulid, yang dikemas dalam empat bagian, masing-masing dalam maqam yang berbeda.
Di negara lain, genre lain berkembang sehubungan dengan peringatan terhadap orang-orang suci yang dihormati. Dalam The Dimension of Music in Islamic and Jewish Culture, Amnon Shiloah mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang cenderung memecah belah musik dari ketiga agama samawi.
Sebagai contoh, adanya persyaratan ritual khusus dalam Yudaisme, dan penggunaan bahasa yang berbeda dalam Kristen. Selain itu, beberapa ciri dari kedua agama tersebut, seperti teamim (semacam sistem notasi Taurat, yang sebagian musik dan sebagian tata bahasa) dalam agama Yahudi, dan octoechos dalam tradisi Kristen, yang tidak mendapat tempat dalam musik Islam.

Namun, pengaruh musik sekuler sangat terasa dalam nyanyian himne, dan dalam beberapa kasus, latar musik teks suci terpengaruh olehnya. Hal ini terjadi, sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa beberapa penyanyi juga merupakan musisi profesional.
Dalam tradisi mistik, berbeda dengan ibadah resmi, musik selalu mendapat tempat yang dihormati dan diakui. Mengutip Abū Sulayman ad-Dārāni, yang meninggal sekitar tahun 820, bahwa samā’ tidak dapat menghasilkan di dalam hati apa yang belum ada di dalamnya.
Seperti dikutip oleh Regula Qureshi-Burckhardt dalam artikel Sufi Music and the Historicity of Oral Tradition (dimuat dalam buku Ethnomusicology and Modern Music History), Hujwīri mengatakan:
[s]amā’ itu seperti matahari, yang menyinari segala sesuatu tetapi memberikan pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan derajatnya: ia membakar, atau menerangi, atau melarutkan.
Ungkapan seperti Hujwīri di atas dapat ditemukan dalam berbagai tulisan-tulisan kaum mistik lain.
Musik bagi Kaum Mistik
Satu keistimewaan dari naskah para mistik, bahwa istilah musik tidak pernah digunakan, dan unsur-unsurnya jarang dibahas. Ia selalu merupakan pertanyaan tentang mendengarkan, yang termasuk menghadiri tarian serta musik.
Suara musik dan gerak tubuh, semuanya merupakan bantuan bagi para peserta dalam latihan spiritualnya, yang menuntun mereka menuju ekstase dan kesatuan tertinggi dengan Tuhan.
Menurut Arthur Gribets, dalam artikel The Samā’ Controversy: Süfî vs. Legalist, samā’ adalah elemen penting dan sangat diperlukan dalam pencarian mistik. Ini terlihat dalam pernyataan Jalaluddin Rumi, yang mengatakan bahwa samā’ adalah “perhiasan jiwa yang membantunya menemukan cinta, merasakan getaran perjumpaan, melepaskan tabir dan berada di hadirat Tuhan.”
Peran samā’ terlihat dengan jelas dalam zikir, yang umum dimiliki oleh semua tarekat. Melalui zikir, samā’ menemukan ekspresi jati diri yang sepenuhnya.
Jean During, dalam artikel Revelation and Spiritual Audition in Islam, menyebutkan adanya serangkaian fase dalam perjalanan menuju eksistensi tertinggi, yang ditandai dengan artikulasi yang baik.

Terkait hal ini, Sunarto, dalam artikel Estetika Rumi: dari Konya sampai Nusantara, mengatakan bahwa dalam tarekat Mawlawi, Rumi memakai musik, yang disertai whirling darvishes, sebagai salah satu sarana untuk mencapai prestasi tertinggi dalam ritualnya.
Ini merupakan komposisi musik yang nyata, dan memang terdapat dalam beberapa karya komposer terkenal, seperti Mustafa Dede, Mustafa ‘Itri, dan Darwis Ali Sirajānī.
Selain penyanyi, tarekat Mawlawi juga menggunakan ansambel besar dengan beberapa instrumen, seperti seruling, rebana, rebab (kamanjas), dan kecapi berleher. Meski begitu, ada beberapa yang menolak instrumen perkusi.
Dalam hal ini, ia mendekati musik rakyat, meski dalam bentuk polifoni yang belum sempurna. Para pengikutnya mengulang-ulang nama Allah SWT tanpa henti, memendekkannta menjadi lah, dan kemudian menjadi ah ketika mereka berpindah dari fase ke fase.
Ini membentuk semacam ostinato, yang di atasnya dicangkokkan nyanyian solois atau tanggapan peserta. Di sinilah, persatuan antara musik dan mistisisme merupakan kekhasan dari sufisme.